Menurut Heriyanto, paradigma ini memindahkan fokus keadilan dari negara ke korban. “Jika criminal justice menempatkan pelanggaran sebagai kesalahan terhadap negara, maka restorative justice melihatnya sebagai pelanggaran terhadap sesama manusia. Korban menjadi pusat, dan keadilan diwujudkan melalui pemulihan,” ujarnya.
Di sisi legislatif, anggota Komisi I DPR RI, Dr. H. Syamsu Rizal Marzuki Ibrahim, yang akrab disapa daeng Ical, menggarisbawahi urgensi strategis revisi KUHAP.
Ia menyebut sejumlah kelemahan mendasar dalam draf lama, seperti ketimpangan kekuasaan, lemahnya perlindungan hukum bagi tersangka dan korban, serta belum adanya kerangka hukum yang memadai dalam menghadapi era digital.
“Hak dasar tersangka dan korban tidak diatur secara operasional. Belum lagi tantangan bukti elektronik, penyadapan digital, dan penggeledahan cloud yang belum diakomodasi,” ujarnya.
Sementara itu, Dr. Tadjuddin Rachman, Ketua Dewan Kehormatan Peradi, mengingatkan, setiap perubahan undang-undang harus dibarengi dengan kesiapan infrastruktur hukum.
“Regulasi baru tanpa kesiapan sistem hanya akan menambah kekacauan. Perubahan harus menyeluruh dan terintegrasi,” katanya.
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, Dr. H. Abd Rauf Muhammad Amin, Lc., M.A., yang membuka seminar itu menekankan pentingnya acara semacam ini sebagai sarana mahasiswa mendekatkan teori dengan praktik.
“Tidak mudah mendatangkan para narasumber ini. Mereka datang bukan hanya membawa gagasan, tetapi juga pengalaman riil di lapangan,” ujarnya.
Di tengah dinamika hukum nasional yang terus bergerak, seminar ini menjadi pengingat, yaitu hukum tak bisa berjalan di tempat. Perubahan adalah keniscayaan. Dan revisi KUHAP yang telah lama tertunda, adalah salah satu jalan menuju keadilan yang lebih adil, Kasi Penkum Kejati Sulsel Soetarmi menandaskan. (Hdr)