PEDOMANRAKYAT, MAROS - Profesor Emeritus Australian National University (ANU) Campbell Macknight mengatakan, metode penelitian pada tahun 1930-an, teknik penggalian secara teori tepat, tetapi dalam praktiknya bisa jadi bencana.
“PaIing penting bergantung pada penempatan setiap artefak dalam proses dan kemudian mengukurnya seperti yang dijelaskan oleh McCarthy. Kalau bekerja dengan pahat bambu untuk mencungkil tanah spesimen, bahan yang langsung ditemukan ditandai dengan nomor urut dan ditempatkan di dalam kotak. Kemudian digali dengan mengikis dengan pahat bambu ke lapisan sedalam satu kaki sekitar 30cm,” ujar Campbell Macknight dalam paparan bertajuk Metode Penelitian Arkeologi yang dipresentasikan pada Konferensi Internasional Gau Maraja Leang-Leang di Gedung Serbaguna Kecamatan Turikale Kabupaten Maros, Jumat (4/7/2025).
Menteri Kebudayaan RI Fadli Zon, sebelum sesi penyajian presentasi, membuka Festival Budaya Gau Maraja Leang-Leang Kamis (3/7/2025) malam di lapangan Pallantikang Kabupaten Maros didampingi Wakil Gubernur Sulsel Fatmawati dan Bupati Maros AS Chaidir Syam dan pejabat lainnya. Kegiatan ini merupakan rangkaian Hari Ulang Tahun ke-66 Kabupaten Maros. Sebagai rangkaian kegiatan festival itu dilaksanakan Konferensi Internasional yang dihadiri peserta 12 negara.
Campbell Macknight mengawali presentasinya dengan mengatakan, kita merayakan seni dan arkeologi dari wilayah Maros hari ini. Gagasan dan metode apa yang digunakan dalam penelitian arkeologi terdahulu sebenarnya, sangat berbeda oleh suatu lembaga yang digunakan saat ini. Sebagaimana kita menghormati penelitian terdahulu penting juga untuk mengenal intelektual dan praktisi tempat mereka bekerja.
“Kita harus selalu ingat kalau populasi penduduk lokal sedikit dan tidak ada jalan yang polos (mulus) dari Makassar,” ujarnya.
Ilmuwan terkenal yang pernah datang di Maros, khususnya daerah Leang-Leang adalah Albert Russel Wallace pada tahun 1857. Namun Wallace lebih tertarik pada alam atau biologi lingkungan tersebut, bukan pada arkeologinya. Komentarnya tentang orang-orang di Nusantara dan persebarannya mirip dengan burung atau laba-laba.
Dalam buku besar Wallace, “Malay Achipelago”, kata Campbell Macknight, dan tulisan-tulisan yang lain, ia menjelaskan ketertarikan khusus Sulawesi untuk biologi. Hal ini menarik bagi sebagian sepupu-sepupu dua kali asal Swiss, yaitu Paul Sarasin dan Fritz Sarasin dari Kota Basel, Swiss. Mereka berambisi untuk menemukan bukti yang tepat dari garis Wallace, terutama dalam kaitannya antara perbedaan dengan ras Melayu dan ras-ras lainnya.
“Mereka menentukan perjalanan secara luas di Sulawesi dan pada tahun 1895, hampir tepat 130 tahun yang lalu, mereka menghabiskan waktu selama seminggu di Leang-Leang. Yang mereka lihat hanya bukti-bukti konkret dari permukaan air laut yang tinggi. Mereka tidak melihat adanya arkeologi dan seni. Ketika mereka kembali ke Sulawesi pada tahun 1902 mereka mendengar cerita dengan orang-orang kecil yang melakukan perjalanan dua kali di Bone Selatan untuk menemukan orang Toala,” kata Macknight.
Dia mengemukakan, penting untuk dipahami kalau hal ini sesuai dengan gagasan lain garis Wallace, mengenai perbedaan ras, khususnya hubungan antara Toala dengan di Srilanka. Mereka mengingat bahwa orang Toala ini tinggal di perlindungan batu kapur, seperti Leang Suru, dengan menggali sekitar mereka menemukan titik batu, peralatan tulang dan bahan lainnya.
Profesor dari Australian National University (ANU) itu mengatakan, seberapa banyak fosil arkeologi digali, tidak jelas. Juga bagaimana cara penggalian stratigrafi dan dari mana peralatan itu berasal. Peralatan tersebut dikumpulkan dan dibawa kembali ke rumah Sarassen di Swiss dan akhirnya disumbangkan di museum di sana. Mereka membandingkan dengan peralatan dari Eropa, namun tidak berhasil dan dengan santai mereka mengatakan bahwa itu lebih mirip dengan peralatan dari Australia.
Pada tahun 1933, Dr.A.A. Cence, ahli bahasa dan teman sekaligus asisten Nuruddin Daeng Magassing, ketika urusan dengan patung Budha di Sempaga Sulawesi Barat itu selesai, masih ada sedikit uang tersisa digunakannya untuk mengunjungi kembali Lamoncong di Bone Selatan. Situs-situs Budha ditemukan karena Nuruddin Daeng Magassing pernah ke sana pada tahun 1902 bersama sepupu Sarasin.
“Kita harus berbuat, lebih banyak memberi perhatian dan mengenang Nuruddin Daeng Magassing. Dia adalah seorang tokoh besar pada tahun 1920-an dan 1930-an pada banyak bidang selain arkeologi dan lokal. Misalnya Pak Nuruddin Daeng Magassing adalah Sekretaris I Muhammadiyah di Makassar pada tahun 1926 dan editor Surat Kabar “Suara Syariat,” ujar Campbell Macknight.
Dalam catatan lain yang ditemukan di dunia maya terungkap bahwa Nuruddin Daeng Magassing termasuk sosok yang menulis buku “Riwaya’na Tuanta Salamaka Syekhu Yusufu” pertama kali pada tahun 1933 dalam cetakan lontara Makassar.
Nuruddin pergi dengan seorang Belanda untuk melihat sebuah situs di Ara Kabupaten Bulukumba dan kemudian melakukan juga penggalian di jalan Camba. Tahun 1937, adalah tahun dengan aktivitas terbesarnya. Peneliti Belanda itu menggali sebuah gua di sebelah utara Pangkejene, kemudian di liang di dekat Bantimurung.
Campbell Macknight menyebutkan, juga Fred McCarthy seorang arkeolog dari Australia datang belajar dan menggali pada banyak situs, namun hasilnya tidak banyak yang dipublikasikan.
“Kami mengetahui banyak penggalian pada tahun 1977 secara rinci seorang wanita Inggris telah ditugaskan oleh pemerintah kolonial untuk menulis sebuah buku perjalanannya ke Sulawesi untuk mengamati pekerjaan arkeologi. Catatannya tentang konteks intelektual penelitian tersebut sangat terbuka informasi yang lebih rinci tersedia di buku harian Fred McCarthy mengenai pengalamannya, baik di Watampone maupun di liang Citta (Soppeng),” ungkap Profesor Emeritus dari Australian National University tersebut.
Konferensi Internasional Gau Maraja Leang-Leang tersebut diawali oleh penyampaian “Keynote Speaker” dari Menteri Kebudayaan Fadli Zon dipandu Prof.Dr.Andi Muhammad Akhmar, sekaligus membuka kegiatan itu. Turut memberikan sambutan sebelum pembukaan konferensi, Dekan Fakultas Ilmu Budaya Unhas Prof.Dr.Andi Muhammad Akhmar, Ketua Perkumpulan Wija La Patau Matanna Tika (Perwira LPMT) Muh. Sapri Pamulu, Ph.D, Bupati Maros AS Chaidir Syam, dan Gubernur Sulsel diwakili Wagub Fatmawati.
Setelah rehat kopi, Prof. Adam Brumm (Griffith University, Australia) menyampaikan presentasi kunci kedua. Selain Campbell, pada Panel 1 juga tampil Dr. Herry Jogaswara, MA. (Kepala Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra Badan Riset dan Inovasi Nasional -- OR ABASTRA BRIN) dan Dr. Stephen C. Druce (Universitas Brunei Darussalam) dipandu moderator Prof. Nurul Ilmi Idrus, Ph.D.
Pada panel 2 tampil Dr. Noel Hidalgo Tan, Prof. Dr. Akin Duli, MA (Unhas), dan Prof.Dr. Zulkarnain Ramli (Universiti Kebangsaan Malaysia) dipandu moderator Dr. Yadi Mulyadi SS, MA.
Pada hari kedua konferensi Sabtu (5/7/2025) sesi pertama tampil Menteri Pertanian Dr. Ir. Andi Amran Sulaiman, MP, dipandu Prof. Dr. Ir. Yusran Yusuf, M.Si, IPU.
Panel 3 menampilkan Prof. Dr. R. Cecep Eka Permana (UI), Dr.M.Irfan Mahmud, SS, M.Si (BRIN), dan Prof. Dr. Ir. Halimah Larekeng (Unhas) dipandu Dr. Supriadi, SS, MA.
Panel 4, Adhi Agus Oktaviana, Ph.D (BRIN), Dr. Hasanuddin, M.Hum (BRIN), dan Dr. Muhammad Nur, MA (Unhas) dipandu Drs. Muhammad Ramli. Panel 5, Prof. Dr. Eng Adi Maulana, ST, M.Phil (Unhas), Dedy Irfan Bachri, ST (General Manager UNESCO Global Geopark), dan Achmad Mahendra N.Tr.A.P (Direktorat Jenderal Pengembangan, Pemanfaatan, dan Pembinaan Kebudayaan Kementerian Kebudayaan RI) dipandu Lory Hendra Jaya, S.I.Kom.
Sesi presentasi terakhir disampaikan Prof.Dr. Ismunandar (Staf Ahli Menteri Kebudayaan RI) dengan topik “Leang-Leang Goes to World Heritage”. (mda)