Catatan Dari Bedah Buku “Maharku: Pedang dan Kain Kafan” (Bagian 3)
Oleh: Asnawin Aminuddin
Buku “Maharku: Pedang dan Kain Kafan” adalah sebuah kisah nyata yang diangkat ke dalam cerita panjang setebal 150 halaman, dengan 17 episode. Cerita yang dibukukan itu ditulis Rahman Rumaday dan diterbitkan oleh Pustaka Sawerigading, cetakan pertama November 2021.
Buku ini tergolong serius, bernomor ISBN: 978- 602-9248-56-2, dan sudah pernah dibedah (dua kali) sebelum masuk dapur Forum Sastra Indonesia Timur (FOSAIT).
“Begitu pentingnya risalah di buku ini sampai Fosait membedah kembali untuk ketiga kalinya hari ini,” kata kritikus sastra Mahrus Andis, saat tampil sebagai salah satu dari tiga pembahas pada Diskusi Buku “Maharku, Pedang & Kain Kafan” karya Rahman Rumaday, di Kafebaca, Jl. Adhyaksa, Makassar, Ahad sore, 26 Juni 2022.
Membaca buku “Maharku: Pedang dan Kain Kafan”, kata Mahrus, seakan kita menangkap kesan horor di dalamnya, padahal sesungguhnya tidaklah sampai ke tataran itu. Walaupun harus diakui bahwa dalam perjalanan kisahnya, ada ketidak-sejajaran antara mitologi budaya kehidupan kampung dengan konsepsi pemikiran manusia kota.
“Di buku ini, banyak menyoal tentang syariat agama sebagai sikap perlawanan penulis terhadap adat istiadat yang berkembang di lingkungannya. Boleh disebut, moralitas cerita ini berfokus pada pemahaman syariat Islam, lebih khusus tentang fiqih mencari jodoh atau fiqih keluarga kontemporer,” kata Mahrus yang karya-karya sastranya sudah banyak dibukukan.
Maman (sapaan akrab Rahman Rumaday) sebagai penulis buku “Maharku: Pedang dan Kain Kafan” menjelaskan bahwa setelah tamat dari MAN Fakfak, ia banyak mendapat dorongan dari Pak Lukman Santoso, gurunya di sekolah dan sekaligus pembimbing ruhaninya (murobbi). Pak Lukman, orang pertama yang menyuruhnya membaca buku-buku tebal dan berat.
“… Buku pertama yang beliau berikan padaku merupakan buku yang sangat tebal karena mencapai 500-an halaman, yakni Fiqih Kontemporer, ditulis oleh Dr. Yusuf Qardhawi.” Demikian tulis Maman dalam bukunya (hal. 13-14).
“Dari narasi di atas, kita sudah mampu menakar pribadi seorang Maman, bahwa dia berbekal kajian fiqih yang, mungkin saja, itu menjadi pedang untuk membabat konsepsi tradisi-budaya lingkungannya yang dinilai berseberangan dengan syariat yang dia pahami. Pemahaman atas hasil kajian fiqih itu pula yang membuat Maman merasa mampu meyakinkan orang tuanya tentang alasan Esti, calon istrinya, meminta mahar berupa pedang dan kain kafan,” tutur Mahrus.
Pada hal 123, Maman menulis, “Aku berharap, penjelasan ini bisa mengubah kebiasaan dan pemikiran yang sedikit kolot yang ada di keluargaku.”
Mahar, adalah syariat Islam yang wajib ada di dalam suatu pernikahan. Di awal “Kata Pengantar”, Maman mengutip ayat Al-Qur’an yang artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” (QS 4 / Annisa: ayat 4)
“Sebagai syariat, tentu mahar wajib dilihat dari sudut pandang sah atau tidaknya sebuah pernikahan. Dan ini adalah tugas para ulama, sesuai bidang keahliannya, untuk melakukan kajian atas status hukum tersebut,” kata Mahrus yang juga seorang da’i.
Berbeda dengan uang belanja (bahasa Bugis-Makassar: doi’ balanca/doe’ panai’), maka status mahar (Bugis-Mks: Sunreng atau sunrang) adalah syarat sahnya suatu pernikahan berdasarkan perintah Al-Qur’an, Surah An-Nisa, ayat 4 di atas.
Status dan jenis kewajibannya pun jelas, yaitu berupa “Maskawin” yang diberikan secara ikhlas (tidak dipaksakan atau dilakukan berdasarkan keinginan sepihak dari wanita yang ingin dinikahi).