Paparan Endang Sari menarik perhatian mahasiswa. Jika Fajlurrahman Jurdi berbicara soal demokrasi dan hukum dari tataran teoretis, Endang Sari justru fokus membongkar perilaku berpemilu warga Kota Makassar, wilayah yang berada di bawah wewenang lembaga pemilu tempat dia bergabung.
Riset KPU, kata Endang Sari, Kota Makassar sangat berisik dengan politik uang. Pada saat pilkada yang lalu, dipasang di lorongnya, tolak pilpres yang menerima politik uang, tetapi menerima serangan fajar. Ada RT dan RW tertentu di salah satu kecamatan, satu RT tidak datang menggunakan hak pilihnya. Makanya, partisipasi kita rendah.
“Mengapa tidak memilih, kami protes karena pada saat pilkada digelar sudah ada yang menulis nama kami mau dikasih serangan fajar. Giliran hari H serangan fajar tidak datang. Ternyata, kami dibohongi dan kami protes. Kami tidak dapat serangan fajar sehingga tidak menggunakan hak pilih. Masyarakat kita tidak malu-malu lagi dengan hal itu,” ungkap Endang Sari.
Komisioner cerdas ini menegaskan, masih kurang kampanye menolak politik uang itu dari kampus ini. Coba keluarkan gagasan kampanye yang dari kampus ini. Mahasiswa sibuk dengan urusannya sendiri. Para caleg politik uang misalnya. Adakah telaah akademik yang mengkritik rekam jejak pemerintah dan caleg anggota DPR yang cuma beberapa orang itu. Apakah kebijakan mereka yang mengarah kepada kebijakan publik, kan tidak ada.
Ujung jari kita akan menentukan masa depan bangsa ini lima tahun ke depan. Bagaimana kita memaknai hak pilih kita. Itu hak dan bertanggung jawab dengan hak yang diberikan oleh negara. Konsekuensi negara kita sebagai satu negara demokrasi. Negara memberikan ruang yang sama kepada kita.
Kita mahasiswa memiliki ‘privelege’ dengan yang di luar sana (masyarakat umum) karena kita belajar. Sebagai pembelajar akan mengantar kita sebagai pemimpin. Pemimpin yang terdidik adalah pemmpin yang tahu batas. Ini harus dibagi. Mohammad Hatta, Wakil Presiden I RI, sudah memperlihatkan tahu batas itu. Penyelenggara pemilu harus tahu batasnya sampai di mana?
Ketika mereka yang terdidik ini minggir dari proses politik Anda menyiapkan karpet merah kepada mereka yang tidak pantas untuk berada di situ (sebagai pemimpin).
“Terlibatlah, dan kritisi apa yang kita mampu lakukan. Mari kita buat kampus bersuara terkait proses politik yang sedang terjadi. Termasuk segala penyalahgunaan hukum yang sedang dipertontonkan kepada kita hari ini,” ajak Endang Sari.
Menjawab pertanyaan wartawan media ini dalam seminar itu, Endang Sari menegaskan, kekuasaan itu candu. Tidak ada orang yang ingin lepas dari kekuasaan. Dengan segala macam cara dia akan melakukan apa pun untuk mempertahankan dan merebut kekuasaan. Apa pun caranya, benar atau salah, yang penting dia tetap berkuasa. Tetapi teori politik bukan hanya Machiavelli. Aristoteles berkata, kekuasaan itu adalah ruang untuk mewujudkan kebaikan-kebaikan bersama. Tergantung dari aktornya, tergantung orang-orangnya. Jangan menganggap politik itu adalah hal yang buruk, tergantung pada orang yang sedang menjalaninya.
Kekuasaan itu mesti terbagi. ‘Trias Politica’ (tiga kekuasaan, eksekutif, legislatif, dan yudikatif) ) kita anut agar kekuasaan tidak boleh menyatu pada institusi saja. Harus dibagi karena kecenderungannya bisa korupsi. Dasar negara ini mengenal pembagian kekuasaan ini. Garis demarkasinya jelas sekali.