PEDOMANRAKYAT, JAKARTA – Pengamat pangan sekaligus Koordinator Aliansi Masyarakat Penyelamat Pertanian Indonesia (AMPPI), Debi Syahputra mengecam keras praktik manipulasi harga beras oleh produsen besar.
Di tengah stok cadangan beras nasional yang mencapai 4,2 juta ton, yang seharusnya membuat harga stabil, beras justru dijual seharga Rp 17.000/kg, meskipun kualitasnya rendah dengan kadar beras patah 30-59%. Seharusnya harga hanya Rp 12.000/kg.
“Ini penipuan terhadap konsumen sebesar Rp 5.000/kg. Bisa dibayangkan, jika yang dijual 2 juta ton, kerugian konsumen mencapai Rp 10 triliun. Ini bukan soal stok atau produksi, ini murni ulah mafia pangan yang menahan pasokan dan mengatur pasar demi keuntungan pribadi. Dasar mafia!” tegas Debi, Jumat (15/8/2025).
Menurut Debi, para pendukung produsen besar justru gencar bersuara di media sosial, podcast, dan berbagai forum, mempersoalkan istilah beras oplosan, menuding HPP gabah terlalu tinggi, hingga membangun narasi bahwa Bulog menyerap habis gabah di lapangan.
“Loh faktanya, Bulog hanya menyerap 8% sementara swasta 92%. Inilah pendukung mafia yang menyerang balik karena gagal meraih keuntungan sebesar-besarnya,” ujarnya.
Ia menambahkan, klaim sejumlah pengamat bahwa pangsa pasar beras premium hanya 5% juga tidak benar, karena data BPS menyebut porsinya mencapai 39,75%.
Temuan Kementan menunjukkan beras yang dijual itu layak disebut beras biasa karena kadar patahnya 30-59%, jauh di atas standar maksimal 15%. Padahal, harga gabah di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat mulai turun, sehingga harga beras seharusnya ikut terkoreksi.
Namun produsen besar tetap menjaga harga tinggi dengan membeli gabah di atas harga pasar untuk mematikan penggilingan kecil dan menengah.
Debi mengamini pernyataan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman bahwa struktur industri penggilingan padi timpang. Produksi padi nasional hanya 65 juta ton gabah kering panen, sementara ada 161.000 penggilingan kecil dengan kapasitas total 116 juta ton per tahun dan banyak yang mati suri.
Kondisi ini semakin parah sejak 15-20 tahun terakhir, ketika ribuan penggilingan besar dan sedang masuk dengan kapasitas tambahan 50 juta ton, merebut 40-50% bahan baku dari penggilingan kecil.
“Mereka sanggup membeli gabah Rp 7.000, sedangkan penggilingan kecil hanya Rp 6.500-6.700. Akibatnya ekonomi kecil terganggu, harga beras melonjak, dan rakyat menjadi korban. Ini bukti ketidakadilan ekonomi karena konglomerat menindas pelaku usaha kecil,” ujarnya.
Fenomena ini, lanjut Debi, menjadi antitesis hukum pasar yang mengatakan suplai besar membuat harga turun.
“Faktanya, saat harga gabah di tingkat petani turun, harga di pasar tetap tinggi. Yang berlaku adalah hukum rimba: yang besar memangsa yang kecil. Presiden bahkan menyebutnya sebagai serakahnomic,” katanya.
Debi juga menyoroti perubahan pola pasar. Setelah beras premium dikurangi di ritel modern, penjualan di pasar tradisional justru meningkat.
“Kalau supermarket kosong dan produsen besar berhenti, itu berkah bagi pedagang kecil dan tradisional, seperti kata Pak Mentan. Ini bukti bahwa jika distribusi adil dan mafia ditekan, harga bisa normal kembali. Pasar rakyat yang diuntungkan, bukan kartel,” tegasnya.