M. BASIR : PUTRA TERBAIK DI ANTARA YANG TERBAIK

Tanggal:

Follow Pedomanrakyat.co.id untuk mendapatkan informasi terkini.

Klik WhatsApp Channel  |  Google News

Fokus dengan kecintaannya pada Pedoman Rakyat, M. Basir memilih mengundurkan diri dari kepegawaian Imigrasi Makassar pada tahun 1957. Sebagai salah satu pemegang saham di harian Pedoman Rakyat, M. Basir yang juga Pemimpin Redaksi membesarkan suratkabarnya dengan idealisme dan totalitas kerja. Beliau banyak melahirkan wartawan handal, antara lain Ronald Ngantung, Rahman Arge dan Arshal Al Habsy. Beliau dikenal sebagai ‘Sang Guru’ oleh para wartawan di Sulawesi Selatan.

Independensi jurnalisme yang diterapkan ketika itu membawa Pedoman Rakyat tampil sebagai koran yang disegani di Indonesia Timur, bahkan nasional. Tulisannya sering menjadi rujukan kebijakan pemerintah. Pun sebaliknya, tak sedikit kebijakan yang direvisi akibat tulisannya yang lembut namun menghentak, bahkan menghujam keras namun merangkul.

“Kepemimpinan beliau tidak sekadar fatwa teoritis belaka. Pak Basir bahkan menyiapkan fasilitas, mesin ketik, bahkan ruangan buat kita yang muda-muda. Terkadang kami diberi ongkos becak. Pak Basir itu luar biasa dalam arti yang sesungguhnya. Beliau selalu mendorong dan ingin yang muda maju,” kenang Rahman Arge.

M. Basir menjabat Ketua PWI Sulsel selama 2 periode, yaitu pada tahun 1966-1968, kemudian tahun 1970-1972. Pada 1973 Ketua PWI dipercayakan kepada Rahman Arge, setelah M. Basir menyampaikan harapannya bahwa sudah saatnya Arge memimpin PWI, dan beliau siap menjadi wakilnya. Kaderisasi seorang Basir tak pernah mengecewakan.

Bergiat di kepartaian di bawah naungan Kuning Beringin, mengantarnya terpilih 2 periode sebagai wakil rakyat di dewan kota Makassar. Kekuatan politik tak menjadikannya silau pada kekuasaan. Beliau lebih memilih memperbanyak relasi di banyak tingkatan; dari tingkat Istana di ibu kota, sampai gubuk sederhana di lorong kampung dan desa.

Di masa Patompo menjadi wali kota, Basir menjadi mitra dalam penataan Kota Makassar. Beberapa patung dan taman-taman kota yang menghiasi Makassar ketika itu (termasuk ‘Tanggul Patompo’ yang terkenal) adalah hasil kolaborasi Patompo yang ‘gila’ dengan Basir yang ‘bertangan dingin’.

Baca juga :  Membanggakan, Putra Asal Sinjai Jalani Debut Jadi Wasit di Kompetisi IBL

Saat Patompo terserang penyakit yang mematahkan kesehatannya, oleh dewan meminta M. Basir menggantikan Patompo menjadi wali kota. Beliau menolaknya.

“Jangan diganti. Patompo akan sembuh,” tegas M. Basir pada beberapa anggota dewan yang datang di kediamannya, khusus meminta kesediaannya menggantikan Patompo.

Lebih Gubernur dari Gubernur

M. Basir adalah salah satu ikon seniman Sulsel yang kerap berkarya di belakang layar. “Pak Basir yang membuat Logo Kota Makassar. Perisai dan perahu Phinisi pada logo itu adalah buah pikirnya,” ungkap Ali Walangadi saat penulis mewawancarainya di kediamannya pada 2 Juli 2009.

Logo Kodam XIV Hasanuddin pun hasil karya M. Basir, saat Letkol Inf. Andi Mattalatta memimpin pada 1957. Yang kemudian berturut-turut dari Brigjen TNI M. Jusuf (1959) hingga Brigjen TNI Solihin G. Purwanegara (1965), keduanya bersahabat erat dengan Basir, bagai sepasang saudara.
Demikian pula logo Kodam VII Wirabuana adalah hasil karya M. Basir. Sebuah piagam ucapan terima kasih diberikan oleh Panglima Kodam Mayjen TNI Soetedjo bertanggal 2 Mei 1985 atas karyanya itu.

Bukan cuma itu, bahkan Logo Unhas dan Logo Kabupaten Jeneponto adalah buah hasil karyanya yang ‘diserahselesaikan’ pada ponakannya yakni Mustafa Djalle. M. Basir selalu mendorong para muda untuk maju dan berhasil.

M. Basir sangat membanggakan dan mencintai daerah kelahirannya Jeneponto. Pergi pulang ke Jeneponto baginya adalah rekreasi yang menggembirakan. Selalu ada yang ingin beliau lakukan, yang berguna dan berkepanjangan. Birtaria Kassi Jeneponto adalah buah gagasan dan kreasinya bersama Bupati Jeneponto Abd. Jalil Sikki. Kedekatan M. Basir dengan Bupati Jalil Sikki ketika itu adalah kedekatan saudara yang rekat. Gagasan memindahkan ibukota Jeneponto dari Monro-Monro ke Bontosunggu dan pembuatan Logo kabupaten pun tak lepas dari buah pikir M. Basir, yang dijalankan Jalil Sikki dengan sangat baik.

Baca juga :  Tokoh Agama di Jatim Ikut Vaksinasi, Kapolri: Jadi Penyemangat Kita Semua

M. Basir kerap dimintai pandangan oleh Presiden Soeharto tentang “siapa” dan “bagaimana” bupati yang cocok menjabat di sebuah daerah, khususnya Sulsel. Jangan heran jika di jaman beliau, banyak orang Jeneponto yang menguasai jabatan strategis pemerintahan. Di kala itu Jeneponto adalah nama paling diperhitungkan sekaligus paling menggetarkan jagat perpolitikan republik ini. Itu karena peran seorang Basir yang “mengendalikan” di balik layar. Beliau pantang menunjuk dirinya sendiri bahkan keluarga sekalipun.

Di kesempatan lain, M. Basir diminta menjadi duta besar di Philipina, tapi ditolaknya dengan tegas. Alasannya sederhana, “Jika saya di Philipina, bagaimana dengan suratkabarku ?”. Beliau sangat mencintai Pedoman Rakyat.

Sebagian orang menganggap ini berlebihan. Bahkan tak sedikit yang menganggap beliau bodoh, lantaran tidak memanfaatkan kesempatan. Tapi Basir berbeda. Beliau memilih merdeka dengan caranya sendiri. Hasilnya ? Seorang M. Basir lebih wali kota daripada wali kota sebenarnya. Ia lebih gubernur daripada gubernur sebenarnya. Beliau berkuasa di atas para penguasa.

Kesederhanaannya menjadi kunci segalanya. Beliau berkuasa tanpa sedikit pun menampakkan kesombongan dan keberkuasaannya.

Putra Terbaik

Memilih ’mengasingkan diri’ dari riuh politik, Basir lebih mencurahkan cintanya sebagai wartawan dan korannya Pedoman Rakyat. Profesi yang menjelaskan dengan begitu baik tentang siapa sosok seorang Basir. Profesi yang membawa dirinya keliling dunia, seperti cita-cita kecilnya dulu. Diundang dari berbagai belahan negeri untuk melihat langsung dan bertukar pikiran tentang apa saja. Sebuah “hightlight“ yang terbukti.

Sosok M. Basir adalah cerita panjang yang tak akan pernah habis diurai di halaman terbatas ini. Meski sakit yang payah akibat lever yang mendera, beliau masih saja menulis dan mengatur pemberitaan. M. Basir meninggal di RS Akademis, 14 Oktober 1985 pada usia 62 tahun.
Pemerintah minta agar dikebumikan di Taman Makam Pahlawan, namun atas desakan tokoh masyarakat Jeneponto, dan segenap masyarakat kota Makassar, meminta dimakamkan di pemakaman umum saja, agar setiap saat bisa menziarahi makamnya, ‘menjenguk’ M. Basir di peristirahatannya.

Baca juga :  Prof.Dr.Faisal Abdullah, S.H.,M.Si., DFM Luncurkan Buku (2): Hak Angket Alarm Ketatanegaraan

Sebagai penghargaan dan rasa terimakasih kepada beliau, Pemda Jeneponto mengabadikan nama M. Basir menjadi sebuah nama jalan di poros jalan lingkar ibukota Jeneponto, Bontosunggu. Putra terbaik di antara yang terbaik, kebanggaan Jeneponto. (***)

1
2
TAMPILKAN SEMUA

2 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Artikel Terkait

Tangis Laut dan Hutan Raja Ampat : Hancur Perlahan, Diam Bersama

Tak ada sirene peringatan saat kehancuran datang. Di Raja Ampat, laut yang dulu biru bening kini menyimpan jejak...

Bagai Mencuri Ilmu di Imperium Yunani

Oleh: Ahmad Amanullah (Mahasiswa Politeknik Kesehatan) KETERTARIKAN  saya pada seni sastra membuat saya berjalan jauh menyusuri makna dan cara...

Rumah Diskusi itu Bernama KDB

Oleh: Nasrun Hamzah (Alumni Fakultas Hukum UNHAS, Ketua Kelompok Diskusi Bulukunyi, periode 1985-1986) Dekade 80an, ketika menjadi mahasiswa Fakultas...

Apa yang Salah di SPMB Sulsel ???

Oleh Syahid Arsjad (Pemerhati Pendidikan dan Pengurus Wilayah KAHMI Sulsel) Ide SMA unggulan di Sulsel tentu bermaksud baik, membangun...