Oleh : Maysir Yulanwar
LAHIR pada 12 Februari 1923 di daerah yang terbilang panas, Bontotanga tetap permai untuk sosok seorang Muhammad Basir kecil. Ketika itu curah hujan telah menganaktirikan Jeneponto, namun kembali melahirkan putra terbaiknya.
Sebagaimana anak-anak desa yang lain, Basir kecil tumbuh dan bermain di lingkungan warga yang baik ketika itu. Tak ada yang mencolok dari dirinya, kecuali kulitnya yang bersih, putih. Postur tubuhnya tinggi besar tak ubahnya anak Eropa.
Meski terbilang nakal, Basir kecil sering tampil sebagai pembela sekaligus pelindung jika ada yang mencoba mengganggu teman-temannya. Ia disukai karena setia kawan.
Seusai sekolah (sekolah rakyat setingkat sekolah dasar ketika itu) Basir memikul tugas menjajakan kue yang dibuat ibunya, Iyada Dg. Cuda. Tanpa malu-malu, ia keliling desa. Dari pintu ke pintu. Dari pasar ke pasar. Menjajakan kue kampung produksi tangan cekatan ibunda tersayang.
Dengan tekun, sabar dan riang, Basir melakoni tugasnya tanpa sedikitpun menampakkan lelah dan gerutu. Seusia itu, beliau sudah memiliki semacam “hightlight“ dalam dirinya; Sesuatu yang ingin dicapai dalam suatu hari tertentu nanti.
Hightlight Basir hanya satu: “Aku mau keliling dunia“. Dan itu Basir mulai dengan cara keliling kampung menjajakan kue. Beliau banyak belajar. Sangat keras dan tegas menuntut dirinya sendiri untuk menjadi pintar.
Saat mulai dewasa, pemuda Basir hijrah ke Makassar. Di kota yang masih berstatus madya itu, ia memilih menjadi seniman teater. Berkawan dengan banyak artis lokal bahkan artis ibu kota, membawanya keliling separuh wilayah Republik Indonesia. Beberapa aksi panggung diikutinya, termasuk beberapa naskah teater lahir dari tangannya.
Sadar akan kemampuannya di dunia tulis menulis, Basir terus menekuninya lalu melabuhkan diri di dunia jurnalis.
Nyaris di Eksekusi
Di dunia seni dan literasi nama Muhammad Basir sering diakrabi dengan sebutan Embas. Aktif sebagai seorang seniman, melukis dan menggambar sketsa adalah kepiawaiannya. Beliau kagum dan sangat mencintai sejarah dan budaya lokal Makassar, khususnya aksara Lontara.
Rumah sakit Labuang Baji adalah sebagian nama yang digagas oleh seorang Basir yang diberikan pada pendirinya yang berkebangsaan Belanda. Meski Basir seorang muslim yang taat, atas pesanan si meneer, beliau menulis kitab injil dalam tulisan Lontara. Dan itu satu-satunya di dunia.
Kebiasaannya ini kemudian melahirkan lusinan buku bertuliskan huruf Lontara, termasuk kemudian Pedoman Desa; satu-satunya koran bertuliskan huruf Lontara, khusus disebarkan di desa-desa. Basir juga menggambar desain patung, misalnya yang dibangun di pertigaan Jl. Dr. Ratulangi dan Jl. Kakatua.
Di saat Pedoman Rakyat didirikan pada 1 Maret 1947, selain berkesenian M. Basir masih bekerja sebagai pegawai di kantor imigrasi Makassar. Di tahun itu, pergolakan politik di Indonesia Timur, khususnya Makassar memanas hingga tahun 1960. Empat tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1951, Basir bergabung dengan Pedoman Rakyat (PR).
Manuhua mengajak Basir karena kemampuan literasi dan jiwa senimannya yang kuat. Kehadiran Basir sangat membantu dalam mewarnai halaman-halaman PR lewat tulisan, gambar dan ilustrasi.
Bersama rekannya, M. Basir membantu membidani lahirnya koran perjuangan bernama Pedoman Rakyat dengan nafas dan semangat yang lebih berani. Jika para pejuang lainnya bertempur dengan badik terhunus, Basir berjuang dengan dua sekaligus: badik dan mesin ketik. Di sela-sela kegiatannya sebagai pejuang (wajib militer), Basir ‘membombardir’ Belanda dengan tulisan-tulisannya yang tajam.
“Ada dua tugas wartawan: Mewartakan kejadian dan menyingkap kebenaran. Dan kita sebagai insan pers, dimuliakan oleh tugas kedua,” tulis Basir berapi-api.
Tanpa menunggu lama, beliau menjadi sasaran incar para kompeni. Sebuah penangkapan dramatis terjadi, Basir digiring dan dilempar ke atas truk, bergabung bersama puluhan pejuang yang berdesakan. Kematian telah membayang, mereka akan dibawa ke lokasi eksekusi. Maut sudah memanggilnya.
Namun takdir berkata lain.
Malaikat maut ternyata belum memilihnya. Seorang perempuan berdarah Ambon Belanda bernama Qory, bergegas menjelaskan kepada kompeni bahwa Basir adalah keluarganya. Tubuh tinggi besar, berkulit putih dengan air muka Eropa, melunturkan keraguan kompeni saat memperhatikan Basir. Keraguan semakin pupus saat Basir menjawab pertanyaan kompeni dengan bahasa Belanda. Beliau pun ditarik turun dari atas truk. Dipisahkan dari puluhan orang yang meronta berdesakan, berharap ikut diturunkan. Qory adalah istri Makka Moka, kakak kandung pendiri kampus YAPTI Jeneponto Rivai Pakihi Moka.
“Sang Guru“
Fokus dengan kecintaannya pada Pedoman Rakyat, M. Basir memilih mengundurkan diri dari kepegawaian Imigrasi Makassar pada tahun 1957. Sebagai salah satu pemegang saham di harian Pedoman Rakyat, M. Basir yang juga Pemimpin Redaksi membesarkan suratkabarnya dengan idealisme dan totalitas kerja. Beliau banyak melahirkan wartawan handal, antara lain Ronald Ngantung, Rahman Arge dan Arshal Al Habsy. Beliau dikenal sebagai ‘Sang Guru’ oleh para wartawan di Sulawesi Selatan.
Independensi jurnalisme yang diterapkan ketika itu membawa Pedoman Rakyat tampil sebagai koran yang disegani di Indonesia Timur, bahkan nasional. Tulisannya sering menjadi rujukan kebijakan pemerintah. Pun sebaliknya, tak sedikit kebijakan yang direvisi akibat tulisannya yang lembut namun menghentak, bahkan menghujam keras namun merangkul.
“Kepemimpinan beliau tidak sekadar fatwa teoritis belaka. Pak Basir bahkan menyiapkan fasilitas, mesin ketik, bahkan ruangan buat kita yang muda-muda. Terkadang kami diberi ongkos becak. Pak Basir itu luar biasa dalam arti yang sesungguhnya. Beliau selalu mendorong dan ingin yang muda maju,” kenang Rahman Arge.
M. Basir menjabat Ketua PWI Sulsel selama 2 periode, yaitu pada tahun 1966-1968, kemudian tahun 1970-1972. Pada 1973 Ketua PWI dipercayakan kepada Rahman Arge, setelah M. Basir menyampaikan harapannya bahwa sudah saatnya Arge memimpin PWI, dan beliau siap menjadi wakilnya. Kaderisasi seorang Basir tak pernah mengecewakan.
Bergiat di kepartaian di bawah naungan Kuning Beringin, mengantarnya terpilih 2 periode sebagai wakil rakyat di dewan kota Makassar. Kekuatan politik tak menjadikannya silau pada kekuasaan. Beliau lebih memilih memperbanyak relasi di banyak tingkatan; dari tingkat Istana di ibu kota, sampai gubuk sederhana di lorong kampung dan desa.
Di masa Patompo menjadi wali kota, Basir menjadi mitra dalam penataan Kota Makassar. Beberapa patung dan taman-taman kota yang menghiasi Makassar ketika itu (termasuk ‘Tanggul Patompo’ yang terkenal) adalah hasil kolaborasi Patompo yang ‘gila’ dengan Basir yang ‘bertangan dingin’.
Saat Patompo terserang penyakit yang mematahkan kesehatannya, oleh dewan meminta M. Basir menggantikan Patompo menjadi wali kota. Beliau menolaknya.
“Jangan diganti. Patompo akan sembuh,” tegas M. Basir pada beberapa anggota dewan yang datang di kediamannya, khusus meminta kesediaannya menggantikan Patompo.
Lebih Gubernur dari Gubernur
M. Basir adalah salah satu ikon seniman Sulsel yang kerap berkarya di belakang layar. “Pak Basir yang membuat Logo Kota Makassar. Perisai dan perahu Phinisi pada logo itu adalah buah pikirnya,” ungkap Ali Walangadi saat penulis mewawancarainya di kediamannya pada 2 Juli 2009.
Logo Kodam XIV Hasanuddin pun hasil karya M. Basir, saat Letkol Inf. Andi Mattalatta memimpin pada 1957. Yang kemudian berturut-turut dari Brigjen TNI M. Jusuf (1959) hingga Brigjen TNI Solihin G. Purwanegara (1965), keduanya bersahabat erat dengan Basir, bagai sepasang saudara.
Demikian pula logo Kodam VII Wirabuana adalah hasil karya M. Basir. Sebuah piagam ucapan terima kasih diberikan oleh Panglima Kodam Mayjen TNI Soetedjo bertanggal 2 Mei 1985 atas karyanya itu.
Bukan cuma itu, bahkan Logo Unhas dan Logo Kabupaten Jeneponto adalah buah hasil karyanya yang 'diserahselesaikan' pada ponakannya yakni Mustafa Djalle. M. Basir selalu mendorong para muda untuk maju dan berhasil.
M. Basir sangat membanggakan dan mencintai daerah kelahirannya Jeneponto. Pergi pulang ke Jeneponto baginya adalah rekreasi yang menggembirakan. Selalu ada yang ingin beliau lakukan, yang berguna dan berkepanjangan. Birtaria Kassi Jeneponto adalah buah gagasan dan kreasinya bersama Bupati Jeneponto Abd. Jalil Sikki. Kedekatan M. Basir dengan Bupati Jalil Sikki ketika itu adalah kedekatan saudara yang rekat. Gagasan memindahkan ibukota Jeneponto dari Monro-Monro ke Bontosunggu dan pembuatan Logo kabupaten pun tak lepas dari buah pikir M. Basir, yang dijalankan Jalil Sikki dengan sangat baik.
M. Basir kerap dimintai pandangan oleh Presiden Soeharto tentang “siapa” dan “bagaimana” bupati yang cocok menjabat di sebuah daerah, khususnya Sulsel. Jangan heran jika di jaman beliau, banyak orang Jeneponto yang menguasai jabatan strategis pemerintahan. Di kala itu Jeneponto adalah nama paling diperhitungkan sekaligus paling menggetarkan jagat perpolitikan republik ini. Itu karena peran seorang Basir yang “mengendalikan” di balik layar. Beliau pantang menunjuk dirinya sendiri bahkan keluarga sekalipun.
Di kesempatan lain, M. Basir diminta menjadi duta besar di Philipina, tapi ditolaknya dengan tegas. Alasannya sederhana, “Jika saya di Philipina, bagaimana dengan suratkabarku ?”. Beliau sangat mencintai Pedoman Rakyat.
Sebagian orang menganggap ini berlebihan. Bahkan tak sedikit yang menganggap beliau bodoh, lantaran tidak memanfaatkan kesempatan. Tapi Basir berbeda. Beliau memilih merdeka dengan caranya sendiri. Hasilnya ? Seorang M. Basir lebih wali kota daripada wali kota sebenarnya. Ia lebih gubernur daripada gubernur sebenarnya. Beliau berkuasa di atas para penguasa.
Kesederhanaannya menjadi kunci segalanya. Beliau berkuasa tanpa sedikit pun menampakkan kesombongan dan keberkuasaannya.
Putra Terbaik
Memilih ’mengasingkan diri’ dari riuh politik, Basir lebih mencurahkan cintanya sebagai wartawan dan korannya Pedoman Rakyat. Profesi yang menjelaskan dengan begitu baik tentang siapa sosok seorang Basir. Profesi yang membawa dirinya keliling dunia, seperti cita-cita kecilnya dulu. Diundang dari berbagai belahan negeri untuk melihat langsung dan bertukar pikiran tentang apa saja. Sebuah “hightlight“ yang terbukti.
Sosok M. Basir adalah cerita panjang yang tak akan pernah habis diurai di halaman terbatas ini. Meski sakit yang payah akibat lever yang mendera, beliau masih saja menulis dan mengatur pemberitaan. M. Basir meninggal di RS Akademis, 14 Oktober 1985 pada usia 62 tahun.
Pemerintah minta agar dikebumikan di Taman Makam Pahlawan, namun atas desakan tokoh masyarakat Jeneponto, dan segenap masyarakat kota Makassar, meminta dimakamkan di pemakaman umum saja, agar setiap saat bisa menziarahi makamnya, ‘menjenguk’ M. Basir di peristirahatannya.
Sebagai penghargaan dan rasa terimakasih kepada beliau, Pemda Jeneponto mengabadikan nama M. Basir menjadi sebuah nama jalan di poros jalan lingkar ibukota Jeneponto, Bontosunggu. Putra terbaik di antara yang terbaik, kebanggaan Jeneponto. (***)
Second to None….!!!
Berlinang air mata saya, mengingat alm. Pak M. Basir, membayangkan kembali kata dan petuanya kepada saya.