Oleh : Irwansah, SE
Imbas pesatnya perkembangan tekhnologi ditengah pandemi. Sektor ketenagakerjaan mengalami tatanan perubahan begitu cepat, menyebabkan tergerusnya kesejahteraan dan hak-hak pekerja, yang berdampak pada pengurangan pekerja.
Masyarakat dalam menghadapi masa pandemi, terus mencoba beradaptasi dengan situasi dan lapangan pekerjaan yang terdisrupsi pandemi Covid-19. Kemauan untuk belajar hal baru menjadi kunci untuk bertahan, terutama yang masuk dalam kelompok angkatan kerja. Wabah Covid-19 yang masuk Indonesia pada awal maret 2020, memaksa pengusaha melakukan efisiensi usaha yang berimbas kepada pekerja/ buruh. Pembatasan aktifitas masyarakat yang bertujuan untuk menekan laju penyebaran Covid-19 terus dilakukan pemerintah, dengan menerapkan berbagai aturan, mulai Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).
Menteri tenaga kerja, Ida Fauziah mengatakan dalam siaran persnya (21/8/2021). Masyarakat Pekerja/buruh, harus bersiap menghadapi disrupsi ganda di era pandemi covid-19. Disrupsi ganda tersebut pertama, resesi perekonomian dan berkurangnya lapangan kerja akibat dari pandemi. kedua, era otomatisasi yang datang lebih cepat akibat tidak terbendungnya laju digitalisasi ditengah pandemi. Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum) dalam laporan The Future of Jobs Report 2020,menyebut disrupsi ketenagakerjaan yang antara lain dipengaruhi pandemi mendorong kebutuhan keterampilan baru di masa depan. Pandemi Covid-19 disebut tidak hanya mempercepat digitalisasi 84 persen, tetapi juga pekerjaan jarak jauh 83 persen dan otomatisasi 50 persen. Tren tersebut diperkirakan akan menambah 97 juta pekerjaan baru di 2025.
Jumlah tersebut akan menggantikan sekitar 85 juta pekerjaan yang hilang karena pembagian kerja antara manusia dan mesin (Robotisasi). Tanpa upaya proaktif, situasi ini memperparah kesenjangan sosial-ekonomi, terutama di Indonesia, yang mayoritas angkatan kerjanya berpendidikan sekolah menengah pertama kebawah. Disrupsi ganda ini dihadapi semua pekerja di seluruh dunia. Masyarakat akan termarjinal, pekerja berpendidikan dan berketerampilan rendah, menjadi yang paling terdampak pandemi. Mereka juga akan menjadi korban pertama digitalisasi dan otomasi.
Menurut BPS jumlah pekerja Agustus 2021, sebanyak 131,05 juta orang, berkurang sekitar 10 ribu orang (0,01 persen) jika dibandingkan dengan keadaan Februari 2021 (131,06 juta orang). dalam menghitung jumlah pekerja BPS, mengelompokkan kedalam dua kelompok,yaitu pekerja disektor Informal dan NonFormal, yang merujuk pada status pekerjaan utama. Tenaga kerja formal meliputi tenaga kerja yang berstatus sebagai karyawan/pegawai/buruh dan berusaha dibantu buruh tetap (memiliki upah yang jelas dan pajak). Sementara tenaga kerja informal berstatus berusaha sendiri, berusaha dibantu buruh tidak tetap/tidak dibayar, pekerja bebas, dan pekerja keluarga (pendapatan tidak jelas perbulannya).
Hasil survey angkatan kerja nasional (SAKERNAS), kondisi ketenagakerjaan nasional memperlihatkan tren perbaikan, seiring dengan pemulihan ekonomi yang berjalan. Hal itu terlihat dari jumlah tenaga kerja formal yang bertambah per Agustus 2021 dibandingkan dengan Agustus 2020. Jumlah penduduk usia kerja Agustus 2021 sebesar 206,71 juta orang dan angkatan kerja mencapai 140,15 juta orang.
Pada Agustus 2021, jumlah pekerja disektor formal sebesar 53,14 juta (40,55 persen), ini naik dari pekerja informal 77,91 juta (59,45 persen). Jika dilihat dari tahun sebelumnya pekerja informal mengalami penurunan, dari 60,47 persen. Meski mengalami penurunan 1,02 persen dari Agustus 2020. Pekerja informal masih mendominasi komposisi pekerja ditengah pandemi.
Pekerja informal yang banyak terdapat di daerah pedesaan yang notabenenya petani ( pekerja bebas dipertanian dan non pertanian), dan pekerja serabutan di perkotaan, sangat merasakan disrupsi ganda, sebab tingkat pendidikan dan wawasan dalam bekerja masih rendah.
Tingginya tingkat pendidikan, pelatihan, keterampilan serta penggunaan teknologi digital dan internet akan menurunkan peluang seorang tenaga kerja mengalami transisi menjadi informal ataupun pengangguran di tengah guncangan ekonomi saat pandemi. Meningkatkan partisipasi sekolah, memberikan pelatihan keterampilan, dan mendorong penggunaan teknologi digital/internet untuk tujuan pemasaran ataupun penjualan akan meningkatkan peluang seorang pekerja mengalami transisi yang lebih tinggi. Salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam meningkatkan keterampilan adalah dengan program Kartu Prakerja yang masih berlanjut hingga sekarang, dan terus ditingkatkan baik jumlah dan kualitas.
Pelatihan program kartu prakerja mesti diselaraskan dengan kebutuhan pekerja, dengan demikian, peserta punya peluang lebih besar memperoleh pekerjaan ditengah pandemi. (*)