Oleh : H Hasaruddin, Guru Besar UIN Alauddin Makassar
Membaca judul di atas, rasanya menggelitik dan mungkin terkesan ketinggalan zaman bagi mereka yang berasumsi bahwa pemikiran seperti itu merupakan pola pikir tempo doeloe dan sudah tidak relevan untuk saat ini.
Boleh ya, boleh juga tidak. Tetapi bagi seorang mukmin yang meyakini Firman Allah SWT yang mengingatkan bahwa kehidupan hari akhir lebih baik daripada saat ini, akan menjadi renungan bagi mereka dalam kehidupan yang serba fana ini.
Di antara keteladanan yang patut dicontoh adalah, keteladanan yang pernah dilakukan oleh Khalifah Umar ibn al-Khattab. Setelah didaulat sebagai Khalifah, Umar sudah tidak memiliki waktu untuk berdagang, profesi yang telah beliau lakoni sebelumnya.
Suatu hari, Umar berkata di hadapan beberapa orang sahabat, “Wahai, saudara- saudara. Aku telah kalian percayai untuk memangku jabatan sebagai khalifah, yang membuatku tidak bisa lagi mencari nafkah bagi kehidupan keluargaku. Jadi, bagaimana pendapat saudara-saudara, apakah anak istriku akan dibiarkan terlunta-lunta?”
Para sahabat terdiam dan berupaya mencari solusi atas apa yang dihadapi oleh khalifah Umar ibn al-Khattab. Setelah bermusyawarah, para sahabat bersepakat untuk memberi gaji kepada Umar yang uangnya di ambil dari bait al mal. Awalnya, beberapa sahabat mengusulkan agar gaji Umar, setara dengan gaji beberapa raja yang ada di sekitarnya, namun Ali menolak usul tersebut.
Hasil musyawarah memutuskan, khalifah mendapat imbalan secukupnya dari bait al- mal, agar khalifah fokus dapat mengurusi rakyatnya.
Sebagaimana diketahui, ketika Umar menjadi khalifah, banyak kemajuan yang diraih. Walau negara memiliki banyak kekayaan dan harta benda, namun Umar beserta keluarganya masih hidup kurang layak, dibanding kehidupan para raja yang ada di sekitar jazirah Arab kala itu.
Beberapa sahabat yang prihatin dengan kehidupan Umar, mengusulkan agar gaji Umar dinaikkan menjadi dua kali lipat. Hanya saja, para sahabat tidak berani menyampaikan hal tersebut kepada Umar. Akhirnya, sahabat minta Hafshah, janda Rasulullah SAW untuk menyampaikan niat baik tersebut kepada Umar.
Ketika Hafshah menyampaikan keinginan para sahabat, Umar naik pitam dan marah atas berita yang baru saja didengarnya. Umar kemudian berkata kepada Hafshah, “Anakku, selama engkau menjadi istri Rasulullah SAW, makanan apa yang biasa beliau santap?”
Hafshah menunduk, matanya berkaca- kaca. Ia teringat kesederhanaan Rasulullah SAW. Dengan terbata-bata Hafshah menjawab, “Roti tawar yang keras, dan untuk memakannya harus dicelupkan dulu ke dalam air minumnya.”
Umar melanjutkan pertanyaannya, “Pakaian apa yang paling mewah bagi beliau?”
Sambil tertunduk Hafshah menjawab, “Selembar jubah berwarna kemerahan karena sudah luntur. Itulah yang dibangga-banggakannya untuk menerima tamu kehormatan.”
Umar melanjutkan, “Apakah Rasulullah SAW tidur di atas tilam yang empuk?”
Sambil menangis, Hafshah menjawab, “Tidak. Rasulullah SAW hanya beralaskan selembar selimut tua. Kalau musim panas dilipatnya menjadi empat lapis supaya agak nyaman ditiduri. Saat musim dingin tiba, selimut tersebut dilipat menjadi dua, sebagai alas dan penutup badannya.”
Umar lalu berkata kepada Hafshah, “Anakku, Aku, Abu Bakr, dan Rasulullah SAW adalah tiga musafir yang menuju cita-cita yang sama. Karena itu harus menempuh jalan yang sama. Musafir pertama telah tiba di tempat tujuan, sebagai pelopornya, yakni Rasulullah SAW. Musafir kedua telah mengikuti jalannya dengan secara seksama, sehingga ia telah berkumpul bersama musafir yang pertama, yakni Abu Bakr. Apakah sebagai musafir ketiga, jika aku tidak memilih jalan yang sama akan dapat bergabung dengan mereka? Tidak, anak ku. Sampaikan kepada para sahabat yang menginginkan kenaikan gaji Umar itu, bahwa Umar ibn al-Khattab lebih memilih berkecukupan di akhirat daripada bermewah-mewah dalam fatamorgana.” Allah A'lam. ***
Makassar, 19 Juli 2022