Oleh : H Hasaruddin, Guru Besar UIN Alauddin Makassar
Seorang pangeran sebagai satu-satunya putera mahkota tiba-tiba jatuh sakit. Berbagai cara telah dilakukan untuk kesembuhannya, namun belum berhasil. Dalam kesedihannya, sang raja akhirnya melakukan sayembara untuk kesembuhan sang pangeran.
Masyarakat berbondong-bondong mendaftar untuk mengobati penyakit sang pangeran, hingga para tabib yang nemiliki keahlian mumpuni. Dari sekian banyak pendaftar, tak satu pun yang mampu mengobati penyakit sang pangeran. Dalam kekhawatirannya, sang raja memanggil Abu Nawas, dan meminta agar Abu Nawas bisa mengobati sang pangeran. Tanpa berpikir panjang, Abu Nawas menyanggupi permintaan sang raja.
Para tabib istana, juga para tabib yang telah berupaya mengobati sang pangeran namun gagal mencapai kesembuhan, meragukan kemampuan Abu Nawas. Puncaknya setelah melihat Abu Nawas, tidak menggunakan alat-alat ketabiban dalam upaya mengobati sang pangeran.
Bukan Abu Nawas, kalau menyerah begitu saja. Setelah menyatakan kesanggupannya, Abu Nawas meminta Raja menghadirkan seorang orang tua, yang senantiasa melakukan penggembaraan di masa mudanya.
Raja pun menyanggupi permintaan tersebut. Beberapa saat berselang, seorang orang tua hadir di hadapan Abu Nawas. Kemudian Abu Nawas meminta, agar orang tua tersebut menyebut satu-persatu nama-nama desa di bagian Selatan.
Ketika orang tua tersebut menyebut nama-nama daerah di bagian Selatan, Abu Nawas menempelkan telinganya ke dada sang pangeran. Setelah nama-nama daerah Selatan disebutkan, Abu Nawas meminta agar orang tua tersebut juga menyebut nama-nama desa bagian Utara, Barat, dan Timur. Setelah semua nama desa disebutkan, Abu Nawas mohon diri mengunjungi sebuah desa di bagian Utara.
Raja nampak heran dengan keinginan Abu Nawas dan menimpali, “Hai Abu Nawas, saya mengundang anda ke sini bukan untuk bertamasya.”
“Ampun yang mulia, hamba tidak bermaksud bertamasya,” jawab Abu Nawas sembari mohon diri untuk menuju ke sebuah desa bagian Utara selama beberapa hari.
Sekembalinya dari pengembaraan, Abu Nawas menemui sang pangeran dan membisikkan sesuatu kemudian menempelkan telinganya ke dada sang pangeran.
Kemudian Abu Nawas menghadap sang raja, dan berkata, “Maaf paduka, apakah paduka masih menginginkan sang pangeran tetap hidup?”
Dengan mimik wajah kaget sang raja berkata, “Apa maksud anda?”
“Sang pangeran sedang jatuh cinta dengan salah seorang gadis desa sebelah utara negeri ini,” ujar Abu Nawas sambil menjelaskan bahwa, ketika nama sebuah desa bagian utara disebutkan, tiba-tiba denyut jantungnya bertambah kencang, namun sang pangeran tidak berani mengutarakan niatnya kepada sang raja.
Lalu raja meminta solusi kepada Abu Nawas agar penyakit sang pangeran dapat disembuhkan. Abu Nawas menyarankan agar sang raja, mengawinkan putera mahkota dengan salah seorang gadis yang berasal dari sebelah utara negerinya.
Awalnya, sang raja ragu dan kurang yakin dengan solusi yang disampaikan oleh Abu Nawas. Namun Abu Nawas meyakinkan sang raja, bahwasanya cinta itu buta, dan jika raja tidak berupaya mengobati kebutaannya, maka sang pangeran akan mati.
Walau kurang yakin dengan apa yang disampaikan oleh Abu Nawas, akhirnya sang raja menikahkan putera mahkota dengan salah seorang gadis dari desa sebelah utara kerajaan.
Setelah pernikahan dilaksanakan, secara perlahan kondisi sang pangeran makin membaik, yang pada akhirnya sembuh dari penyakit yang di deritanya.
Cinta itu buta dan terkadang seseorang yang mencintai sesuatu secara berlebihan, maka ia akan berupaya melakukan segala cara untuk meraih cinta yang dicintainya. Hanya saja, terkadang yang dicintai melakukan kesalahan, namun dianggap sebagai kebenaran.
Konon, orang dulu berkata, “Cinta itu buta, kotoran kucing pun rasa coklat.”
Betulkah? Silahkan senyam-senyum sendiri sembari merenungi diri sendiri akan cinta yang sedang melanda diri kita. Allah A'lam. ***
Makassar, 29 Agustus 2022