Oleh : Andi Pasamangi Wawo (Penasihat PWI Sulsel)
SAYA lagi melayani nanda "Akkir", Ketua Pemuda Pancasila ditemani anggotanya, Otong dan Sahril yang juga seorang Staf di Kecamatan Manggala Makassar di Pendopoku.
Di celah pembicaraan, HP Sahril berdering. Sy dengar suara wanita sepintas, ada kabar duka sekalipun tak dispeaker. Maklum telinga Wartawan.
Rasa ingin tahu, ketika HP terputus saya sergah tanya Siapa yang meninggal, nak".
"Suaminya ibu Putrietna, Pensiunan ASN Kantor Camat, pak," jawabnya.
Kaget karena yang dimaksud itu, sahabat seperjuangan dan seprofesi saya Usdar Nawawi owner Bugis Pos yang saat ini sebagai Wakil Ketua PWI Sulsel Bidang Hukum dan Pembelaan Wartawan.
"Tolong telepon ulang dan speaker, pastikan tak salah dengar," pinta saya ke Sahril.
Ketika ada jawaban dari balik telepon, bagai melayang rasanya.
Innalillahi Wainnailaihi Rajiun.
Teringat Jumat lalu, saya berdampingan duduk di Mesjid Al Amaan Polsek Manggala. Dia datang penuhi ajakan saya lewat WA.
Tak banyak yang sempat saya cerita karena dia buru-buru pulang, sambil membawa bingkisan "Jumat berkah"nya.
Itu pertemuan terakhir saya, sekalipun hanya tetangga blok saja.
Otong, saya minta segera pergi membantu persiapan kedatangan jenazah di rumah duka dari RS Hermina.
Sekitar 9 jam lalu almarhum masih posting tulisannya di FB tentang seorang Hakim Agung yang "Mappakasiri" dicokok KPK. Empat hari berturut, postingannya aktif, termasuk Terobosan Walikota DP tentang Ojol yang dinilainya sebagai "dua sisi mata uang". Karena, ojol panen, tapi tukang parkir harus libur tiap Selasa di seluruh kantor Pemerintah Kota Makassar.
Tak ada info dia sakit. Namun memang saudara saya ini, jarang serius hadapi penyakit. Masker di saat pendemi Covid-19 saja, kadang masih mau ngopi bareng lepas masker sambil merokok. Ngobrol jalan, tapi menulis tetap produktif.
Tahun lalu, almarhum menerbitkan kumpulan-kumpulan tulisannya. Ia minta saya buat testimoni lewat WAnya.
Saya menulis begini : Membaca buku Esai Usdar Nawawi ini, kita diajak merenung tentang rekaman momentum peristiwa di masa-masa lalu.
Esai-esainya menggelitik, bercerita tentang pemerintahan, hukum, budaya, dan sosial kemasyarakatan. Semua ditulis dengan apik, enjoy, dan menginspirasi. Kadang juga meledak-ledak.
Usdar Nawawi menulis esainya ini dari waktu ke waktu, dari suasana ke suasana berikutnya. Mencerminkan, kepekaannya dalam melihat momentum peristiwa yang patut direkam dalam esai.
Kesimpulan saya, Usdar Nawawi telah menjadi Wartawan yang tak pernah capek menulis. Dia pantas disebut Esais yang pantang istirahat untuk menulis. Dia menemukan jati dirinya sebagai penulis esai yang konsisten pada prinsip, bahwa menulis sepanjang hayat adalah pilihan.
Selamat jalan, sahabatku. Engkau buktikan berkarya hingga hayat di kandung badan.
Hanya Alfatihah yang mampu saya persembahkan diiringi tetes airmata yang 'melangkah-langkah' di pelupuk.
Sungguh banyak cerita tentang kita berdua. Semoga pulaslah tidurmu di KharibaannNYA saudaraku. Aamiin YRA. (***)