Tak ada info dia sakit. Namun memang saudara saya ini, jarang serius hadapi penyakit. Masker di saat pendemi Covid-19 saja, kadang masih mau ngopi bareng lepas masker sambil merokok. Ngobrol jalan, tapi menulis tetap produktif.
Tahun lalu, almarhum menerbitkan kumpulan-kumpulan tulisannya. Ia minta saya buat testimoni lewat WAnya.
Saya menulis begini : Membaca buku Esai Usdar Nawawi ini, kita diajak merenung tentang rekaman momentum peristiwa di masa-masa lalu.
Esai-esainya menggelitik, bercerita tentang pemerintahan, hukum, budaya, dan sosial kemasyarakatan. Semua ditulis dengan apik, enjoy, dan menginspirasi. Kadang juga meledak-ledak.
Usdar Nawawi menulis esainya ini dari waktu ke waktu, dari suasana ke suasana berikutnya. Mencerminkan, kepekaannya dalam melihat momentum peristiwa yang patut direkam dalam esai.
Kesimpulan saya, Usdar Nawawi telah menjadi Wartawan yang tak pernah capek menulis. Dia pantas disebut Esais yang pantang istirahat untuk menulis. Dia menemukan jati dirinya sebagai penulis esai yang konsisten pada prinsip, bahwa menulis sepanjang hayat adalah pilihan.
Selamat jalan, sahabatku. Engkau buktikan berkarya hingga hayat di kandung badan.
Hanya Alfatihah yang mampu saya persembahkan diiringi tetes airmata yang ‘melangkah-langkah’ di pelupuk.
Sungguh banyak cerita tentang kita berdua. Semoga pulaslah tidurmu di KharibaannNYA saudaraku. Aamiin YRA. (***)