Secara Geo-Politik, penempatan PMI di luar negeri sudah saatnya diambil alih oleh Pemerintah Pusat dalam suatu lembaga yang punya kewenangan penuh, seperti OJK dan Bank Indonesia, Kementerian Agama, Hankam, dll, guna mengurangi banyaknya tumpang-tindih Peraturan dengan Peraturan Daerah (Perda) yang sering diangkat oleh pejabat daerah menjadi seolah-olah lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan UU. Sehingga para pejabat di daerah lebih tunduk dan takut terhadap pimpinan daerah yang memberikan jabatan, ketimbang UU itu sendiri.
Kekuatan penempatan PMI ke luar negeri tidak boleh dipandang rendah, karena kekuatan ini bila dikelola dengan benar akan menjadi kekuatan yang dapat mempengaruhi beberapa sektor, misalnya di sektor pariwisata, budaya, agama, poltik dan hubungan diplomatik. Kami berharap Presiden selanjutnya di periode 2024-2029 dapat membuat satu divisi di KSP (Kantor Staff Presiden) dengan kekuatan SUPER BODY yang bekerja langsung dibawah Kepala Negara dan dapat mengawasi instansi terkait dengan urusan penempatan PMI. Divisi di KSP tersebut akan diisi oleh person yang benar-benar paham dengan dunia penempatan PMI yang bukan sekedar memenuhi kursi untuk kepentingan balas budi secara politik, melainkan insan yang memperhatikan proses penempatan unprosedural dan menghasilkan ide-ide yang luar biasa (out of the box) guna kepentingan Bangsa di kancah Internasional, baik untuk generasi sekarang, maupun untuk beberapa generasi berikutnya.
Bisa dibayangkan dengan menuanya populasi di beberapa negara maju akan sangat membutuhkan PMI kita, dimana populasi Indonesia selalu mengalami kenaikan setiap tahunnya. Saya teringat dengan apa yang pernah dilakukan oleh Pemerintah Belanda dengan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), yang boleh dikatakan sebagai “P3MI pertama” di Nusantara dengan menempatkan sekitar 33,000 orang Jawa pada sektor perkebunan dan kehutanan di Guyana Belanda (Suriname) pada kurun tahun 1890 hingga 1939. Kini kita dapat melihat bahwa keturunan saudara kita di sana sekarang ada kurang lebih 15% dari total populasi Suriname dan berhasil meduduki posisi-posisi penting di pemerintahan mereka hingga kedudukan Menteri.
Hal ini bukan tidak mungkin bagi para PMI kita sekarang yang jumlahnya sudah mencapai jutaan orang yang tersebar di manca negara pada suatu hari bermukim tetap di sana dan beranak-pinak hingga menghasilkan keturunan yang diharapkan memegang posisi penting di negara tersebut. Sehingga akan menguntungkan posisi pemerintah Indonesia pada masa mendatang di kancah internasional. Belum lagi penyebaran kuliner, budaya, agama dan bahasa yang semuanya akan menguntungkan Indonesia di masa-masa mendatang. Peningkatan kunjungan wisata ke Indonesia pun akan meningkat seiring dengan banyaknya penempatan PMI ke luar negeri yang terjadi dari tahun ke tahun.
Terdapat kesan bahwa secara tidak langsung pemerintah kita mengutarakan bahwa akan mengurangi penempatan sektor pekerja domestik ke luar negeri, bahkan ada yang menganggap bahwa sektor ini bukan sektor yang memiliki “skill”. Apabila pemikiran mereka demikian adanya maka sesuatu yang salah besar.
Pertama, semua penempatan tenaga kerja secara prosedural di sektor pekerja domestik sudah dibekali dengan pelatihan kompetensi yang di sahkan dengan Sertifikat Kompetensi oleh BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi). Hal ini berarti mereka yang dikirim adalah pekerja yang memiliki kualifikasi “skill”.
Kedua, kita harus memahami bahwa pemerintah belum menerapkan Wajib Belajar 16 tahun kepada semua WNI, sehingga bila kita memeriksa data statistik saat ini, maka ada sekitar 67% dari angkatan kerja Indonesia yang hanya berpendidikan setara dengan SMP. Tidak banyak lapangan kerja baik di dalam maupun di luar negeri yang dapat mempekerjakan mereka dengan jenjang pendidikan demikian (SMP). Meski pemerintah kini memulai program Wajib belajar 16 tahun bagi semua rakyat, itupun baru akan terlihat hasilnya 21 tahun dari sekarang yang mana statistik angkatan kerja kita baru akan terlihat lebih baik di atas kertas.
Ketiga, bahwa diperlukan adanya 1 generasi yang ”berkorban” untuk dapat menyekolahkan generasi berikutnya dengan baik dan mengubah nasib keluarga untuk menjadi lebih baik lagi. Hal ini sudah banyak terbukti, dimana keturunan pekerja domestik yang sukses ditempatkan di luar negeri, akan menaikkan derajat pekerjaan generasi berikutnya di dalam negeri. Ada yang jadi perawat, dokter, pengacara, tentara, polisi, ASN, bahkan yang saya dengar (entah benar atau tidak) mantan Menteri Tenaga Kerja Indonesia periode 2014-2019, Hanif Dhakiri, merupakan produk dari orang tua yang dahulunya bekerja sebagai PMI di luar negeri.
Keempat, bahwa hak warga negara Indonesia untuk mendapatkan kehidupan yang layak, dijamin oleh UU Dasar 1945. Sehingga sektor pekerja domestik pun harus kita hormati sebagai salah satu jalan bagi warga negara kita untuk mencari kehidupan yang mereka pandang layak, sepanjang Pemerintah belum dapat menyediakan lapangan kerja yang layak bagi warganya di dalam negeri.
Pemerintah, P3MI, Employment Agency, maupun pengguna jasa wajib memahami bahwa perubahan cara mendidik kompetensi dan penanganan terhadap PMI kini harus mengalami perubahan. Karena penempatan PMI sekarang ini mulai diisi oleh generasi ke-3 dan ke-4 terhitung dari dimulainya penempatan PMI ke luar negeri lebih dari 45 tahun yang lalu. Di lapangan kami melihat kenyataan bahwa generasi sekarang ini memiliki kehidupan ekonomi yang jauh lebih baik dibandingkan dengan generasi pertama dan kedua saat mereka merantau bekerja ke luar negeri. Generasi sekarang jauh lebih “manja” dan tidak “tahan banting” secara mental. Apabila generasi saat ini tidak terdidik secara kompeten dengan mental yang benar, maka walau penempatan PMI diisi oleh insan atau generasi yang berpendidikan lebih tinggi dari sebelumnya, maka angka kegagalan dalam bekerja di luar negeri akan meningkat dibandingkan beberapa generasi yang lalu. Karena itu, wajib semua pihak yang terkait dapat duduk bersama mencarikan formula yang tepat untuk perubahan kurikulum yang dibutuhkan dari generasi ke generasi.
Semoga harapan, kritikan dan masukan yang ada pada tulisan ini dapat membuka cara pandang kita yang mungkin sebelumnya kurang paham akan penempatan PMI menjadi lebih paham lagi. Dengan harapan bahwa penempatan PMI akan menjadi lebih baik lagi ke depannya dengan memberikan “win-win solution” untuk semua pihak yang terkait, khususnya terhadap PMI yang harus kita pandang bukan lagi sebagai komoditas, namun sebagai sesama anak Bangsa Indonesia yang wajib kita bantu dan didik secara kompeten, baik mental, moral serta integritasnya.
Dengan harapan akan menjadi modal bagi mereka saat memutuskan untuk kembali berkarya di Tanah Air atau bila mereka memutuskan untuk tetap tinggal di tanah rantau. Sangat mulia tugas P3MI yang dilakukan dengan benar, karena hal ini pasti akan sangat membantu pemerintah, selain memutus tali rantai pengangguran, juga membantu dalam perputaran roda perekonomian negara kita melalui pengiriman devisa oleh PMI ke Tanah Air. (***)