Peradilan pemilu di MK nanti adalah pemilu ini sarana kedaulatan rakyat, cara ekspresi formal kedaulatan rakyat, maka penting kedaulatan rakyat ini dijaga oleh cabang kekuasaan yang disebut cabang kekuasaan kehakiman dan MK diberi 4 kewenangan dan satu kewajiban. Hakim MK itu harus negarawan. Harusnya mereka sudah selesai dengan dirinya. Tidak oleh karena pesanan terhadap putusan yang dikeluarkan.
“Putusan MK final dan mengikat. Mereka ini manusia setengah dewa, tetapi satu kakinya di neraka dan satu di surga. Kapan salah sedikit tercebur ke neraka. Begitu juga sebaliknya,” sebut Fajlurrahman Jurdi.
Ikhtiar hakim itu harus ikhtiar inpersonal. Jangan ikhtiar yang dipengaruhi oleh kekuasan dari luar. Hakim itu wajib netral. Jangan karena seperti pendapat anggota DPR karena dia merupakan hakim pilihan DPR, maka dia harus mengikuti kemauan DPR. Bahkan ada yang ikut fit and proper test kemarin mengatakan, sebelum mengambil keputusan saya akan berkonsultasi dengan DPR. Itu pernyataan goblok sekali dari seorang calon hakim konstitusi. Untung tidak terpilih. Bagaimana mungkin dia merupakan cabang kekuasan lain, sebelum memutuskan sesuatu dia harus datang berkonsultasi ke DPR? Teori dari mana?
Menjawab pertanyaan peserta seminar perihal Presiden cawe-cawe (turut campur) dalam berbagai masalah menjelang pilpres, Fajlur mengatakan, memang ada problem seorang kepala negara yang sedang berkuasa mengampanyekan trahnya yang akan maju ke pemilihan capres/cawapres. Ketika kita memilih republik sudah jelas peta jalan politiknya. Kenang Fajlur, dulu di BPUPKI ada 64 orang anggotanya, lalu diadakan voting, 55 memilih republik, 6-7 memilih monarki dan selebihnya memilih yang lain-lain. Ketika memilih republik, maka kekuasaan itu dipergilirkan, tidak diwariskan yang secara diametral berbeda dengan konsep monarki.
“Karena jatuhnya ke republik ada ‘role of the game”, ada peta jalan, ada aturan yang harus dikuti oleh masing-masing pihak yang harus saling hormati,” tegas dosen Fakultas Hukum Unhas yang produktif menulis buku ini.
Yang terjadi, ada juga orang yang bermimpi, dia sudah tahu ini republik, dia sudah tahu ini demokrasi, kekuasaan itu punya tapal batas, tetapi dia bercita-cita menjadi raja. Sebagai orang yang menghayal menjadi raja dalam konsep republik, inilah mungkin yang terjadi pada sebagian orang dan menghendaki kekuasaan diwariskan kepada keluarganya.
Dia menghendaki kekuasaan itu diwariskan kepada orang-orang tertentu yang ada dalam lingkungan keluarga mereka.
Padahal dia tahu persis ada konstitusi di sana yang dia bongkar pasang. Ada UU yang dia tabrak. Ada ‘role of the game’ yang dia hancurkan. Dan itu, terjadi di depan kita. Yang bisa kita lakukan adalah saling mengutuk sana dan sini. Tetapi penyelenggara negara tidak dapat melakukan apa pun sehingga fakta yang kita saksikan saat ini.
Padahal, banyak hal yang kalau kita mau korek satu per satu bagaimana pelanggaran konstitusi yang dilakukan oleh penyelenggara negara itu tidak ditindaki apa pun oleh penegak hukum. Hukum ini jadi panglima atau prajurit adalah persoalan penting bagi kita. Kita belajar di kelas hukum jadi panglima, hukum harus memimpin, justru faktanya hukum jadi prajurit. Hukum itu tidak jelas mau diangkat ke mana?
“Tumpul ke atas, tajam ke bawah. Ini kemudian yang terjadi di tengah-tengah kita. Misalnya, netralitas ASN saja. UU Pemilu jelas, kampanye tidak boleh melibatkan ASN. UU ASN prinsipnya ada netralitas. Tetapi PP 94 tahun 2021 menyebutkan ASN itu boleh ikut kampanya dengan catatan tidak pakai baju partai dan tidak mengenakan seragam PNS-nya. Pertanyaannya, peserta pemilu kan bukan hanya parpol. Kenapa dia tidak menulis di situ, tidak memakai atribut partai, atribut pasangan capres/ cawapres dan anggota DPD,” beber Fajlur.