Catatan dari Seminar Nasional FH Unhas: (3). MK Manusia Setengah Dewa

Tanggal:

Follow Pedomanrakyat.co.id untuk mendapatkan informasi terkini.

Klik WhatsApp Channel  |  Google News

Peradilan pemilu di MK nanti adalah pemilu ini sarana kedaulatan rakyat, cara ekspresi formal kedaulatan rakyat, maka penting kedaulatan rakyat ini dijaga oleh cabang kekuasaan yang disebut cabang kekuasaan kehakiman dan MK diberi 4 kewenangan dan satu kewajiban. Hakim MK itu harus negarawan. Harusnya mereka sudah selesai dengan dirinya. Tidak oleh karena pesanan terhadap putusan yang dikeluarkan.

“Putusan MK final dan mengikat. Mereka ini manusia setengah dewa, tetapi satu kakinya di neraka dan satu di surga. Kapan salah sedikit tercebur ke neraka. Begitu juga sebaliknya,” sebut Fajlurrahman Jurdi.

Ikhtiar hakim itu harus ikhtiar inpersonal. Jangan ikhtiar yang dipengaruhi oleh kekuasan dari luar. Hakim itu wajib netral. Jangan karena seperti pendapat anggota DPR karena dia merupakan hakim pilihan DPR, maka dia harus mengikuti kemauan DPR. Bahkan ada yang ikut fit and proper test kemarin mengatakan, sebelum mengambil keputusan saya akan berkonsultasi dengan DPR. Itu pernyataan goblok sekali dari seorang calon hakim konstitusi. Untung tidak terpilih. Bagaimana mungkin dia merupakan cabang kekuasan lain, sebelum memutuskan sesuatu dia harus datang berkonsultasi ke DPR? Teori dari mana?

Menjawab pertanyaan peserta seminar perihal Presiden cawe-cawe (turut campur) dalam berbagai masalah menjelang pilpres, Fajlur mengatakan, memang ada problem seorang kepala negara yang sedang berkuasa mengampanyekan trahnya yang akan maju ke pemilihan capres/cawapres. Ketika kita memilih republik sudah jelas peta jalan politiknya. Kenang Fajlur, dulu di BPUPKI ada 64 orang anggotanya, lalu diadakan voting, 55 memilih republik, 6-7 memilih monarki dan selebihnya memilih yang lain-lain. Ketika memilih republik, maka kekuasaan itu dipergilirkan, tidak diwariskan yang secara diametral berbeda dengan konsep monarki.

“Karena jatuhnya ke republik ada ‘role of the game”, ada peta jalan, ada aturan yang harus dikuti oleh masing-masing pihak yang harus saling hormati,” tegas dosen Fakultas Hukum Unhas yang produktif menulis buku ini.

Yang terjadi, ada juga orang yang bermimpi, dia sudah tahu ini republik, dia sudah tahu ini demokrasi, kekuasaan itu punya tapal batas, tetapi dia bercita-cita menjadi raja. Sebagai orang yang menghayal menjadi raja dalam konsep republik, inilah mungkin yang terjadi pada sebagian orang dan menghendaki kekuasaan diwariskan kepada keluarganya.

Baca juga :  Selle Ks Dalle Pimpin Rakor Percepatan Penyerapan Gabah/Beras 2025

Dia menghendaki kekuasaan itu diwariskan kepada orang-orang tertentu yang ada dalam lingkungan keluarga mereka.
Padahal dia tahu persis ada konstitusi di sana yang dia bongkar pasang. Ada UU yang dia tabrak. Ada ‘role of the game’ yang dia hancurkan. Dan itu, terjadi di depan kita. Yang bisa kita lakukan adalah saling mengutuk sana dan sini. Tetapi penyelenggara negara tidak dapat melakukan apa pun sehingga fakta yang kita saksikan saat ini.

Padahal, banyak hal yang kalau kita mau korek satu per satu bagaimana pelanggaran konstitusi yang dilakukan oleh penyelenggara negara itu tidak ditindaki apa pun oleh penegak hukum. Hukum ini jadi panglima atau prajurit adalah persoalan penting bagi kita. Kita belajar di kelas hukum jadi panglima, hukum harus memimpin, justru faktanya hukum jadi prajurit. Hukum itu tidak jelas mau diangkat ke mana?

“Tumpul ke atas, tajam ke bawah. Ini kemudian yang terjadi di tengah-tengah kita. Misalnya, netralitas ASN saja. UU Pemilu jelas, kampanye tidak boleh melibatkan ASN. UU ASN prinsipnya ada netralitas. Tetapi PP 94 tahun 2021 menyebutkan ASN itu boleh ikut kampanya dengan catatan tidak pakai baju partai dan tidak mengenakan seragam PNS-nya. Pertanyaannya, peserta pemilu kan bukan hanya parpol. Kenapa dia tidak menulis di situ, tidak memakai atribut partai, atribut pasangan capres/ cawapres dan anggota DPD,” beber Fajlur.

Kan ada tiga peserta pemilu itu. Ini merupakan pasal-pasal ambivalen, pasal-pasal yang gampang ditafsirkan oleh sebagian orang yang suka nakal. Apalagi dia punya ambisi karena ada PP-nya. Tapi harus dipahami bahwa di atas norma, itu ada prinsip. Netralitas itu prinsip.

Fajlur juga menyinggung soal money politic (politik uang) misalnya. Politik uang itu kalau internal pemilu, penyelenggara yang dapat dihukum, bukan setiap orang. Jadi kalau dia bukan penyelenggara atau pelaksana di KPU, dia tidak bisa dihukum karena frasanya bukan setiap orang. Kalau frasanya setiap orang, ya bisa dihukum. Partai kan pintar, yang daftar di KPU tidak akan disuruh bagi-bagi uang. Bisa ada agen spionase di tempat orang lain. Tidak bisa dihukum oleh Bawaslu dan itu juga problem.

Baca juga :  Adakan Pembuatan Biosaka, Kadis TPHP Sinjai Apresiasi Kelompok Tani Lumbung Rakyat

“Tapi selama orang-orang mau baik, orang mau beres otaknya mengurusi pemilu ini, saya pikir ini hasilnya akan baik. Masalahnya, mau nggak mereka bertarung secara jantan. Karena kadang-kadang minggu tenang adalah minggu yang tidak tenang. Karena pada saat minggu tenang itulah saat mereka sedang mempersiapkan perangkat infrastruktur untuk menyerang fajar tadi. Mereka berpikir siapa yang mau disuap,” urai Fajlur.

Putusan MK, tergantung cara pandang kita. Bagi orang yang berpikir determinan politik memandang bahwa politik itu di atas hukum. Tapi bagi orang yang memandang determinan hukum, hukum itu adalah panglima, politik harus ada di bawahnya. Jadi, dua perspektif ini akan berjalan bersama-sama. Sekarang cara pandang kita di mana, hingga menentukan sikap kita. Semestinya, hukum harus mengendalikan perilaku, meskipun itu merupakan kesepakatan politik.
Masalahnya, pada diri kita tidak ada keteladanan. Penegak hukum melanggar hukum seperti kasus Firli Bahuri. Itu kan tidak ada keteladanan. Dia yang seharusnya menangkap penjahat, dia malah orang yang paling jahat di antara para penjahat itu misalnya.

Menurut Fajlur, di dalam demokrasi, pemilih itu tidak boleh dipaksa karena memilih itu adalah hak, bukan kewajiban. Tetapi jangan berkampanye untuk menghasut orang lain tidak memilih. Itulah yang dilarang. Itu orang yang tidur di kamar tidak mau datang ke TPS, itu tidak jadi soal bagi hukum, tetapi bagi sebagai seorang warga negara Anda punya tanggung jawab. Ketika ada produk hukum oleh kekuasaan yang Anda tidak pilih, Anda ikut menanggung dosa karena ada UU yang dihasilkan itu mencelakai kehidupan publik karena tidak terlibat di dalamnya. Anda ikut bertanggung jawab dalam memimpin itu. Itu problemnya. Ada akuntabilitas moral yang yang disandang oleh warga negara, misalnya, ketika seorang masyarakat sipil masuk bilik suara, ketika mereka memilih atau tidak memilih, akuntabilitas moral itu yang paling penting yang di atasnya ‘role’.

Baca juga :  Jadwal Siaran Langsung Dewa United vs PSM di Liga 1 Live Indosiar dan Vidio

“Jiwa itu meta norma, tidak tertulis karena dia menggerakkan norma. Dia berdiri atas moral.Kekuasaan berjalan di atas ‘role’, tetapi itu tidak bekerja. Kalau kita menunggu orang datang minta untuk memilih, standar moral kita di mana? Sementara kekuasaan mengintai kebijakan publik kita. Sementara kekuasaan sedang merampas hak-hak kita, maka untuk menghentikan otoritatif bajingan itu dengan cara, kita tidak memilih mereka. Kalau kita kembali memilih mereka, maka kebijakan yang mereka buat adalah kebijakan yang mengakuisisi hak-hak kita,” kata Fajlur.

UU yang dihasilkan yang brengsek itu pun akan merusak moral kita. Anda tahu UU Cipta Kerja yang dipersoalkan itu, semestinya itu menjadi catatan buat kita. Kejahatan itu harus diperbaiki dari pemilu. Kalau kita memilih berdasarkan hati nurani, bukan berdasarkan amplop yang diberikan kepada kita, hasilnya akan makin baik. Karena pemilu berbiaya mahal, para pelaku ‘money politic’ makin merajalela. Kita harus mengontrol mereka, sehingga demokrasi akan berkualitas. Kalau kita apatis terhadap politik, pura-pura tidak tahu terhadap kebijakan politik, bahwa hulunya semua kejahatan itu ada di pemilu ini.

Thomas Hobbes mengatakan, memilih yang terbaik di antara baik atau memilih yang terbaik di antara yang buruk. Ini
“penting untuk mengenal calon yang baik. Kita yakin ada yang baik di antara mereka itu. Maka, pilihlah yang baik itu meskipun demokrasi kita masih bermasalah,” kunci Fajlurrahman Jurdi. (Bersambung)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Artikel Terkait

Empat Terduga Pelaku Penadahan Motor Curian  Diringkus Unit Resmob Satreskrim Polres Gowa

PEDOMANRAKYAT, GOWA - Unit Resmob Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polres Gowa pada Senin (21/4/2025) subuh sekitar pukul 05.00...

Terduga Pelaku Penipuan Modus Proyek Fiktif  Diamankan Unit Resmob Satreskrim Polres Gowa

PEDOMANRAKYAT, GOWA - Unit Resmob Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polres Gowa di bawah pimpinan Kanit Resmob Ipda Andi...

Sebanyak 510 Personel Gabungan Dikerahkan Cari Iptu Tomi yang Hilang Saat Operasi Pengejaran KKB di Papua Barat

PEDOMANRAKYAT, TELUK BINTUNI - Sebanyak 510 personel gabungan dikerahkan untuk mencari Iptu Tomi Samuel Marbun, mantan Kasat Reskrim...

Polda Sulteng Berhasil Gagalkan Peredaran 24 Kg Sabu yang Dipasok dari Malaysia

PEDOMANRAKYAT, PALU - Aparat Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Tengah (Sulteng) berhasil menggagalkan peredaran 24 kilogram sabu di Kota...