Kan ada tiga peserta pemilu itu. Ini merupakan pasal-pasal ambivalen, pasal-pasal yang gampang ditafsirkan oleh sebagian orang yang suka nakal. Apalagi dia punya ambisi karena ada PP-nya. Tapi harus dipahami bahwa di atas norma, itu ada prinsip. Netralitas itu prinsip.
Fajlur juga menyinggung soal money politic (politik uang) misalnya. Politik uang itu kalau internal pemilu, penyelenggara yang dapat dihukum, bukan setiap orang. Jadi kalau dia bukan penyelenggara atau pelaksana di KPU, dia tidak bisa dihukum karena frasanya bukan setiap orang. Kalau frasanya setiap orang, ya bisa dihukum. Partai kan pintar, yang daftar di KPU tidak akan disuruh bagi-bagi uang. Bisa ada agen spionase di tempat orang lain. Tidak bisa dihukum oleh Bawaslu dan itu juga problem.
“Tapi selama orang-orang mau baik, orang mau beres otaknya mengurusi pemilu ini, saya pikir ini hasilnya akan baik. Masalahnya, mau nggak mereka bertarung secara jantan. Karena kadang-kadang minggu tenang adalah minggu yang tidak tenang. Karena pada saat minggu tenang itulah saat mereka sedang mempersiapkan perangkat infrastruktur untuk menyerang fajar tadi. Mereka berpikir siapa yang mau disuap,” urai Fajlur.
Putusan MK, tergantung cara pandang kita. Bagi orang yang berpikir determinan politik memandang bahwa politik itu di atas hukum. Tapi bagi orang yang memandang determinan hukum, hukum itu adalah panglima, politik harus ada di bawahnya. Jadi, dua perspektif ini akan berjalan bersama-sama. Sekarang cara pandang kita di mana, hingga menentukan sikap kita. Semestinya, hukum harus mengendalikan perilaku, meskipun itu merupakan kesepakatan politik.
Masalahnya, pada diri kita tidak ada keteladanan. Penegak hukum melanggar hukum seperti kasus Firli Bahuri. Itu kan tidak ada keteladanan. Dia yang seharusnya menangkap penjahat, dia malah orang yang paling jahat di antara para penjahat itu misalnya.
Menurut Fajlur, di dalam demokrasi, pemilih itu tidak boleh dipaksa karena memilih itu adalah hak, bukan kewajiban. Tetapi jangan berkampanye untuk menghasut orang lain tidak memilih. Itulah yang dilarang. Itu orang yang tidur di kamar tidak mau datang ke TPS, itu tidak jadi soal bagi hukum, tetapi bagi sebagai seorang warga negara Anda punya tanggung jawab. Ketika ada produk hukum oleh kekuasaan yang Anda tidak pilih, Anda ikut menanggung dosa karena ada UU yang dihasilkan itu mencelakai kehidupan publik karena tidak terlibat di dalamnya. Anda ikut bertanggung jawab dalam memimpin itu. Itu problemnya. Ada akuntabilitas moral yang yang disandang oleh warga negara, misalnya, ketika seorang masyarakat sipil masuk bilik suara, ketika mereka memilih atau tidak memilih, akuntabilitas moral itu yang paling penting yang di atasnya ‘role’.
“Jiwa itu meta norma, tidak tertulis karena dia menggerakkan norma. Dia berdiri atas moral.Kekuasaan berjalan di atas ‘role’, tetapi itu tidak bekerja. Kalau kita menunggu orang datang minta untuk memilih, standar moral kita di mana? Sementara kekuasaan mengintai kebijakan publik kita. Sementara kekuasaan sedang merampas hak-hak kita, maka untuk menghentikan otoritatif bajingan itu dengan cara, kita tidak memilih mereka. Kalau kita kembali memilih mereka, maka kebijakan yang mereka buat adalah kebijakan yang mengakuisisi hak-hak kita,” kata Fajlur.
UU yang dihasilkan yang brengsek itu pun akan merusak moral kita. Anda tahu UU Cipta Kerja yang dipersoalkan itu, semestinya itu menjadi catatan buat kita. Kejahatan itu harus diperbaiki dari pemilu. Kalau kita memilih berdasarkan hati nurani, bukan berdasarkan amplop yang diberikan kepada kita, hasilnya akan makin baik. Karena pemilu berbiaya mahal, para pelaku ‘money politic’ makin merajalela. Kita harus mengontrol mereka, sehingga demokrasi akan berkualitas. Kalau kita apatis terhadap politik, pura-pura tidak tahu terhadap kebijakan politik, bahwa hulunya semua kejahatan itu ada di pemilu ini.
Thomas Hobbes mengatakan, memilih yang terbaik di antara baik atau memilih yang terbaik di antara yang buruk. Ini
“penting untuk mengenal calon yang baik. Kita yakin ada yang baik di antara mereka itu. Maka, pilihlah yang baik itu meskipun demokrasi kita masih bermasalah,” kunci Fajlurrahman Jurdi. (Bersambung)