PEDOMAN RAKYAT, MAKASSAR — Ketua Mahkamah Konstitusi RI periode 2013-2015., Dr.Hamdan Zoelva, S.H.,M.H. menegaskan, Mahkamah Konstitusi hendaknya jangan hanya menjadi ‘pengadilan kalkulator’ saja, yang hanya menghitung dan memutuskan hasil penghitungan suara yang memengaruhi perolehan suara.
“Mahkamah Konstitusi sebagai “the guardian of constitution and democracy” (penjaga konstitusi dan demokrasi) harus mengawal demokrasi dan konstitusi. Mahkamah Konstitusi harus memutuskan adanya pelanggaran terstruktur, sistematik, dan masif (TSM) dalam penyelenggaraan pemilihan umum,” ujar Hamdan Zoelva saat membawakan orasi ilmiah pada Dies Natalis XXX yang dirangkaikan dengan Wisuda Sarjana XX Universitas Cokroaminoto Makassar (UCM), di Hotel Swiss Belt In, Panakkukang, Makassar Kamis (25/1/2024).
Dalam orasinya bertemakan “menjaga keberadilan pengadilan”, Hamdan mengatakan, dalam pemerintahan demokrasi dikenal adanya “vox populi, vox dei” (suara rakyat adalah suara Tuhan). Ini menunjukkan kita mengagung-agungkan suara rakyat dan itu merupakan suara yang tertinggi. Prinsip-prinsip ini mengandung masalah yang besar. Begitu pun, demokrasi mengandung masalah yang besar karena merupakan “role of majority” (pengaturan oleh mayoritas), kekuasaan mayoritas. Kekuasaan mayoritas ini bisa berpindah kepada kekuasaan tiran, ketika mayoritas seringkali mengabaikan hak-hak minoritas oleh kekuasaan mayoritas yang melanggar etik dan hukum.
Menurut Hamdan, semakin kuat kekuasaan itu maka kekuasaan itu semakin besar kemungkinannya untuk korup. Inilah masalah demokrasi yang terjadi pada masa lalu. Pada abad XIX dan XX, timbullah suatu keyakinan bahwa tidak bisa kekuasaan mayoritas itu dipercaya penuh untuk mengatur kehidupan suatu bangsa. Harus ada pembatasan-pembatasan, sehingga lahir di mana-mana prinsip negara hukum. Prinsip negara hukum adalah prinsip mengatasi kekuasaan mayoritas, sehingga kemudian lahir prinsip-prinsip negara yang berdasarkan konstitusi. Demokrasi yang mayoritas harus dibatasi oleh prinsip-prinsip hukum dan prinsip konstitusi.
Perkembangan-perkembangan ini, sebut Hamdan, membawa pesan politik dan dunia peradilan dan pengadilan. Di negara-negara Eropa dibentuk pengadilan politik yang di Amerika disebut dengan “supreme of court” atau pengadilan tata negara. Di Eropa berkembang Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi tidak lain adalah lembaga yudikatif yang seharusnya menyelesaikan masalah politik oleh lembaga politik, kemudian diputuskan oleh pengadilan, yakni Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, MK tidak lain adalah mahkamah politik.
“Kita di Indonesia sejak perubahan UUD 1945, menganut negara konstitusional demokrasi yang dalam segala aspek demokrasi dibentuk suatu mahkamah yang disebut dengan MK dalam rangka mengawal demokrasi. Secara konstitusional, keputusan-keputusan politik harus diputuskan oleh lembaga politik melalui pengadilan. Inilah satu perkembangan baru dalam bidang politik dan hukum di Indonesia, sejak reformasi 20 tahun lalu yang tumbuh dan berkembang,” ujar Hamdan di depan Ketua Dewan Pembina Yayasan SARI Sulsel Prof.Dr.Basri Hasanuddin, M.A. Kepala Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (L2Dikti) Wilayah IX Dr.Lukman, M.Si, Ketua Yayasan SARI Sulsel Dr.Rahmat Hasanuddin, M.M., Ketua DPW Syarikat Islam Sulsel Dr.Syamsul Rijal, M.Si. Rektor UCM Prof.M.Tahir Kasnawi, SU, Ketua Senat UCM Dr.Ibrahim Saman.M.M., dan 36 wisudawan/wati beserta orang tuanya beserta undangan.
Dalam kaitan dengan itu, kita juga mengakomodasi pelaksanaan pemilu sebagai cara melaksanakan demokrasi. Secara ideal, pemilu harus bersih, jujur, adil sesuai pasal 22d UUD 1945 yang menyebutkan, pemilu dilaksanakan sekali dalam lima tahun yang dilakukan dengan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber jurdil). Apabila hasil pemilu, proses penyelenggaraannya melanggar prinsip-prinsip luber jurdil, maka itu melanggar konstitusi dan bisa dibawa ke MK.
Apa yang terjadi setelah reformasi, memang dalam pemilihan presiden (pilpres) belum pernah ada keputusan MK yang memutuskan ada pemilu yang melanggar prinsip-prinsip konstitusi dan UU yang ada. Belum pernah ada putusan MK yang mengatakan bahwa pemilu tidak dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip konstitusional, sehingga dibatalkan. Apakah mungkin ke depan, MK membatalkan hasil pemilu?
Di negara-negara modern yang mengandung demokrasi, hal untuk membatalkan hasil pemilu adalah hal yang lumrah dan biasa. Ini pernah dilakukan oleh pengadilan Jerman, kemudian yang terakhir tahun 2017, dilakukan Pengadilan Kenya. Mahkamah Konstitusi pernah membatalkan hasil pemilu presiden Kenya. Saat itu, negara tersebut melaksanakan pemilu yang menurut penilaian dari pihak yang menggugat bahwa pemilu itu tidak dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip konstitusi dan ada prinsip-prinsip yang dilanggar sesuatu peraturan perundang-undangan yang penuh dengan tindakan-tindakan yang ilegal dan intimidatif. Yang terpilih waktu itu dinyatakan invalid dan pemilu dibatalkan dan harus diadakan pemilihann ulang.