Mestinya, kita selalu membuka ruang untuk mendengarkan pendapat orang lain dari mana pun datangnya. Perbedaan pendapat bukanlah ancaman yang harus ditakuti. Perbedaan pendapat adalah modal sosial yang dapat mengantarkan kita menjadi lebih kritis dan lebih bijak, terutama untuk lebih memahami eksistensi diri kita sebagai manusia, sebagai makhluk mulia ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih.
Namun, pada hari ketiga pelatihan, peserta tampaknya sudah mulai cair. Mereka sudah mau berdialog. Sebagian besar mulai respek pada penjelasan saya, terutama ketika saya menjelaskan ayat-ayat suci Al-Quran yang berbicara tentang pentingnya menghormati sesama manusia, pentingnya kesetaraan gender, pentingnya ilmu pengetahuan, serta pentingnya memenuhi hak dan kesehatan reproduksi, khususnya bagi kaum perempuan.
Konferensi dan pelatihan itu secara intens membahas berbagai bentuk ketidakadilan gender dan kurangnya akses pada program keluarga berencana, penguatan kualitas perawatan dan sistem kesehatan, tantangan sosial-budaya dan agama, pendekatan berbasis hak, kesetaraan dan pemberdayaan perempuan, keterlibatan laki-laki, keamanan komoditas kesehatan reproduksi, penguatan kolaborasi dan kemitraan, serta mobilisasi sumber daya untuk keluarga berencana. Selain itu, peserta juga mendapatkan pengayaan berupa pengalaman dari negara lain yang dibagikan sepanjang acara ini. Selama diskusi, tampak bahwa agama dan interpretasi teks-teks agama tentang keluarga berencana, pengaturan jarak kelahiran, hubungan keluarga, serta kesetaraan laki-laki dan perempuan memiliki pengaruh kuat atas kebijakan, pemrograman, dan akses ke layanan.
Pada akhir konferensi, para peserta sepakat bahwa upaya-upaya memajukan keluarga berencana serta pengaturan jarak kelahiran dan kesehatan reproduksi di Afghanistan membutuhkan lebih banyak dialog nasional dengan para mullah atau pemimpin agama yang umumnya sangat konservatif. Mereka sepakat berkomitmen menyerukan lokakarya lanjutan dengan lebih banyak keterlibatan para pemimpin provinsi dan pejabat daerah, pembentukan mekanisme koordinasi dengan LSM mitra pembangunan, dan pelatihan kepemimpinan bagi para pejabat provinsi dalam mempromosikan keluarga berencana. Konferensi juga menyepakati perlunya ketersediaan data yang memadai untuk pengambilan keputusan. Hal yang paling mendesak dilakukan adalah pelatihan kepemimpinan pejabat provinsi dalam mempromosikan keluarga berencana.
Beberapa peserta tampak terkesima karena saya hafal sejumlah ayat Al-Quran terkait isu-isu keluarga dan kehidupan masyarakat luas. Seorang peserta mengatakan bahwa tidak banyak perempuan yang bisa menghafal ayat-ayat Al-Quran. Syukurlah, jika kemampuan perempuan menghafal Al-Quran menjadi ukuran untuk respek. Namun, bagi saya itu belum cukup! Sebab, semua perempuan harus dihargai tidak peduli dia mampu menghafal Al-Quran atau tidak. Semua perempuan harus dihormati, baik sebagai warga negara yang merdeka maupun sebagai manusia seutuhnya.
Sungguh di luar dugaan, pada hari terakhir pelatihan, tiga orang peserta menghampiri saya lalu berkata, “Maafkan sikap kami yang tidak ramah dan cenderung kasar di awal pelatihan. Sekarang kami baru paham apa itu makna demokrasi, apa itu prinsip hak asasi manusia, dan mengapa hak kesehatan reproduksi itu penting. Kami berterima kasih mendapatkan pencerahan dan ilmu bermanfaat.”
Tak hanya itu, mereka pun menambahkan, “Ke depannya kami siap melakukan ijtihad kemanusiaan, memberikan pencerahan kepada umat agar mereka mencintai ilmu dan pendidikan. Hanya dengan ilmu dan pendidikan yang cukup, umat Islam menjadi umat yang berkualitas, menikmati keadilan, kesejahteraan, dan kedamaian. Kami baru sadar, bahwa esensi Islam adalah penegakan hak asasi manusia, yaitu sungguh-sungguh memanusiakan manusia.”
Saya membatin, inilah pentingnya pelatihan, pentingnya dialog, dan pentingnya upaya-upaya pemberdayaan masyarakat. Upaya seperti ini harus banyak dilakukan di berbagai tempat, terutama di kalangan kelompok Islam radikal yang anti-kemanusiaan dan anti hak asasi manusia, seperti kelompok Taliban.
Setelah acara penutupan resmi, panitia menyelenggarakan kegiatan santai berupa makan siang dengan menu istimewa sambil memperkenalkan berbagai produk organisasi UNFPA terkait penguatan hak-hak kesehatan reproduksi (kespro). Beberapa di antara mullah Taliban menghampiri saya untuk berfoto.
Spontan saya menjawab, “Maaf, saya tidak bisa berfoto dengan laki-laki yang bukan mahram.”
Petugas UN yang mengenal saya biasa berfoto dengan siapa pun tertawa terbahak-bahak. Dia mengatakan, “Nggak nyangka, bisa juga kamu ngerjain mereka.”
Saya tersenyum menanggapinya. Saya hanya ingin agar mereka juga merasakan betapa tidak nyaman hidup dengan penuh larangan dan blokade.
Usai pelatihan, keesokan harinya saya meninggalkan bandara Kabul menuju Dubai untuk segera kembali ke Jakarta. Di bandara saya memperhatikan sejumlah perempuan masih mengenakan burqa. Namun, begitu mendarat di Dubai, Uni Emirat Arab, semua perempuan tersebut melepas burqa. Wajah mereka terlihat lega. Mungkin mereka merasa seperti bebas dari penjara, penjara agama yang kerap lebih menyakitkan.
Saya selalu mengampanyekan kebebasan yang disertai kesadaran kemanusiaan dan tanggung jawab. Saya sangat yakin, semua bentuk pemaksaan, khususnya pemaksaan dalam agama hanya akan berakhir sia-sia. Selama ajaran agama dipaksakan pelaksanaannya, pasti tidak akan membuahkan kebaikan dan kemaslahatan bagi manusia dan kemanusiaan.
Itulah sebabnya Allah Yang Maha Penyayang mengingatkan: “Berdakwahlah dengan penuh hikmah, santun dan bijak, serta berdebatlah dengan cara yang lebih baik dan beradab. Sesungguhnya hanya Tuhanlah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari Jalan-Nya dan Dialah juga yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Q. S. An-Nahl: 125).
Setelah tiba di Dubai, sungguh saya merasa gembira dan lega telah bebas dari kondisi yang mencekam di Kabul. Petugas UN yang pulang bersama saya mengangkat kedua tangannya sebagai simbol bebas dari penjara dengan berucap, “We are really free now, but we have been there.” (Bersambung).