Oleh : M.Dahlan Abubakar
ESOK, pagi hari, rombongan sudah menuju pinggir sungai Karama. Sekitar empat sampai lima katinting sudah merapat. Perjalanan menuju Kalumpang dimulai. Pak Atik dan Ibu serta Ibu Titiek K. satu katinting. Machmud, saya, Mantjo, dan Djamaluddin Lolo (Kakandep Penerangan Mamuju) berada di satu sampan lain. Lima orang dengan motoris sampan. Perjalanan ini akan melawan arus. Gas motor tempel ‘menjerit’ keras, melawan arus deras Sungai Karama. Penduduk berjejer di pinggir sungai, mendengar gemuruh bunyi lima katinting bermotor tempel bersamaan. Seolah melepas dengan resmi bupati mereka berikut para pejabat dan wartawan yang kelak sebagai pencatat sejarah kuli tinta yang pertama tiba di Kalumpang.
Pada siang hari, rombongan singgah makan di pinggir sungai. Rombongan wartawan bergabung dengan Bupati dan Ibu Atik Sutedja. Menikmati lalapan Sunda di bawah suhu dingin udara pegunungan.
Hari sudah agak sore, ketika rombongan sampai pada sebuah tikungan sungai. Orang Mamuju dan juga Pak Atik Sutedja menceritakan kepada rombongan, tempat itu dianggap keramat. Selalu minta korban. Selalu saja ada katinting yang jadi korban. Namanya, to matowa. Dulu, tempat itu adalah lokasi terjadinya musibah yang menyebabkan seorang anak manusia mati tenggelam. Tak jelas bagaimana kisahnya, korban itu selalu minta tumbal katinting yang lewat. Gara-gara cerita tragedi Pak Atik Sutedja inilah, rekan Bachtiar M.Amran (alm.) menyarankan Pak Bupati membatalkan perjalanan pada malam hari sebelum keesokan hari kami berangkat.
Katinting yang ditumpangi Machmud, saya, Mantjo, dan Djamaluddin Lolo, sudah melewati tikungan yang juga disebut ‘batu gergaji’ itu. Disebut batu gergaji, karena katinting harus bergerak menggergaji agar bisa lolos ke atas. Jika tidak, akan susah tembus. Sampan yang ditumpangi Pak Atik juga sudah lewat. Begitu melihat sampan Pak Atik lewat, sampan yang ditumpangi Machmoed dkk terus tancap gas.