Suherman, Kepala Resor Kehutanan Parado menyebutkan, orang yang tak paham matematika saja mengerti jumlah keuntungan yang diperoleh petani kemiri ini. Satu pohon bisa menghasilkan sedikitnya 50 kg, dikalikan jumlah pohon yang berproduksi (95 pohon) total 4.750 kg. Harga kemiri bulat per November 2024 Rp 72.000/kg. Jika dikalikan jumlah perkiraan produksi dengan harga yang berlaku, maka petani akan meraup rupiah 342 juta/tahun.
Komoditas kemiri (aleurites maluccana) memiliki banyak manfaat. Dikutip dari laman www.alodokter.com, kemiri dapat dimanfaatkan untuk bumbu makanan dan kesehatan. Secara rinci manfaat kemiri dapat menyuburkan rambut, mencegah keriput, mencegah infeksi, mengatasi sembelit, menjaga kadar kolesterol, menurunkan risiko terjadinya hipertensi, mengurangi risiko penyakit jantung/stroke, menjaga kesehatan tubuh secara umum, sebagai zat pewarna dan juga sebagai pupuk. Di dalam 100 gram kemiri terdapat 680 kalori.
“Hasil diperoleh dengan prinsip pasif. Artinya, petani hanya memungut biji kemiri, tanpa mengeluarkan biaya pupuk, biaya tenaga kerja. Sangat berbeda dengan petani jagung yang semua komponen produksinya memerlukan dana,” kata Abdillah M.Saleh.
Junaidin Ibrahim (59), Ketua Kelompok Tani Mada Nangga mengakui, penghutanan kembali lahan gundul ini selain sudah tampak hijau dan memberikan hasil, juga oksigen yang hutan ini sudah tersedia lagi secara normal.
“Ekosistem hutan ini sudah kembali. Ini tidak lepas dari keterlibatan aparat TNI-Polri, Kehutanan, dan Tim Penanggulangan, Reboisasi. Saya terharu, bapak-bapak bisa langsung berkunjung ke Mada Nangga ini. Hanya satu usul saya, jalan ke lokasi percontohan ini kiranya perlu mendapat perhatian pemerintah,” ujar Junaidin berusaha menyembunyikan rasa harunya.
Jalan menuju ke lokasi lahan percontohan ini hanya berkisar 2 atau 3 km. Saat ini kondisinya terbatas dapat dilintasi kendaraan roda dua dan roda empat dengan fasilitas “4wheel drive’ dan berbodi tinggi.
Junaidin menyebutkan, dengan kondisi jalan seperti saat ini, saat pengangkutan ke lokasi, bibit yang ada di polibag jatuh berantakan dan bercerai berai. Terpaksa diperlukan waktu 1-2 bulan untuk memperbaiki lagi kondisi bibit agar bisa hidup.
“Oleh sebab itu, kami mohon kepada pemerintah agar memperbaiki ruas jalan ini. Lahan percontohan ini 85% sudah memperlihatkan hasil. Lahan ini sudah ditanami dan berproduksi selama tiga tahun,” kata Junaidin.
Suherman, Kepala Resor Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) Parado menyatakan syukur, karena pada titik (hutan) lain yang sudah terbuka (gundul), seharusnya dapat dikelola (dihijaukan) seperti ini. Hutan itu harus berbeda dengan lahan milik. Perbedaan yang paling mudah bagi kita orang awam adalah jangan nomor satukan tanaman pangan. Sebab, komoditas kita ini namanya hutan harus ada ciri hutannya. “Sekarang adalah eranya tanaman produktif. Di lokasi tiga kelompok ini, apa yang diharapkan itu sangat luar biasa. Tanaman ini kalau sudah berproduksi bisa diurus sendiri,” ujar Suherman.
Seperti diakui ketua kelompok, kata Suherman, dari tahun ke tahun produksinya terus meningkat. Misalnya dari 50 biji satu pohon, tahun berikutnya naik terus. Sehingga, nilai ekonominya pun akan semakin bertambah. Berbeda dengan tanaman pangan. Banyak maaf, berbeda. Biaya produksi tiap tahun naik, harga pupuk dan obat naik, biaya tenaga kerja naik, tetapi tetapi harga tanaman pangan statis, Bahkan turun. Pada satu sisi, kekuatan fisik kita sebagai pengelola, petani, kalau sudah berumur tidak maksimal lagi. Ada ‘aus’-nya. Kita tidak bisa melawan kodrat dan usia.
“Jadi harapannya, tidak ada kata terlambat bagi kita bahwa berbuat baik itu minimal, tidak bisa dinikmati oleh orang lain, tetapi paling tidak makhluk hidup yang ada di sekitar areal ini nyaman dan ‘mendoakan’ kita. Andaikan makhluk di sini rusak, dia akan datang ‘menjajah’ dan mendatangi kita di kampung karena alam dan habitatnya sudah dijajah manusia. Bukan tidak mungkin, suatu saat nanti monyet yang hidupnya di hutan, akan datang ke dapur kita mencari makan,” ujar Suherman.
Suherman mengajak warga untuk memulai dan penanaman kembali hutan seperti di kawasan Mada Nangga, Mada Singgi, dan So Rade Inanane yang merupakan contoh nyata bahwa apa yang kita gaungkan selama ini bukan sekadar mimpi. Ini adalah mimpi yang sudah diwujudkan oleh tiga kelompok ini dengan areal seluas 300ha. Pada titik-titik lain, meskipun berbeda komoditas yang ditanam, juga sudah banyak yang seperti ini. Termasuk di Kanca, di Rade Keu-1 dan Rade Keu-2, sudah mulai seperti ini juga. Tinggal kebaikan-kebaikan itu jadi contoh. Kita tidak usah berbicara tentang orang di luar Parado dan di luar Bima karena di sini (Parado) sendiri sudah berproduksi.
“Selama ini kita gaung-gaungkan untuk kebaikan masyarakat banyak sering dicemooh, namun itulah tantangan perjuangan. Yang penting, niat kita baik, kita wujudkan apa yang dapat dilakukan, kita kerjakan. Satu dua pohon yang ditanam hari ini, suatu saat nanti akan ada manfaatnya,” kunci Suherman. (Bersambung)