Oleh: Mahrus Andis
MENJADI peserta Kongres Kebudayaan, Sabtu 24 Juni 2023 di gedung Mulo, kemarin, rasanya kembali ke masa-masa silam di tahun 70-an. Bertemu dengan banyak teman seniman Makassar seperti: Ajiep Padindang, Syahrial Tato, Yudhistira Sukatanya, Ahmadi Haruna, Azis Nojeng, David Aritanto, Bahar Merdu, Syahril Rani, Dewi, Luna dll, rasanya amat menyenangkan.
Ada pula seniman dari kabupaten Bone, Andi Youshan. Dari Barru, Badaruddin Amir. Dari Pare-Pare, Tri Astoto. Dari Pangkep, Nawir Sultan. Dan dari Bulukumba, Agusriady Maula, serta dari beberapa kabupaten lainnya.
Saya juga bertemu dengan banyak narasumber, antara lain Prof. Aminuddin Salle, Prof. Andi Ibrahim, Prof. Ahmad Salam, Dr. Alwy Rahman, Dr. Suparman Sopu, Prof. Mchlis Hadrawi dll. Pertemuan saya dengan narasumber ini juga rasanya sama di tahun-tahun 70 dan 80-an.
Mungkin karena materi kongres masih tetap berbau masa silam atau cara penyajian para narasumber yang kurang menyentuh persoalan “apa yang harus dilakukan Pemerintah Provinsi Sulsel atas hadirnya UU. No. 5 Th. 2017” itu ? Entahlah. Yang saya rasakan, kongres ini kurang mengaktualisasi secara teknis persoalan-persoalan seni-budaya, khususnya seni kreatif dan kearifan lokal yang dihadapi masyarakat Sulsel dewasa ini.
Bicara tentang implementasi Undang-undang Pemajuan Kebudayaan, sepertinya Alwy Rahman dan Suparman Sopu yang pas mengurai konteks materi dengan kebutuhan masa kini.