Oleh : Maxixe Mantofa, BA
PENEMPATAN Tenaga Kerja Indonesia (TKI) atau Pekerja Migran Indonesia (PMI) sesuai Amanah UU No.18/2017, sudah dimulai sejak lebih kurang 45 tahun silam. Awal mula penempatan tenaga kerja Indonesia untuk bekerja ke luar negeri hanya diatur dengan Kepmen kemudian Permen, hingga terbitnya UU No. 39/2004 dengan mengakomodir sebuah badan baru di pemerintahan dengan nama BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia). Kemudian dengan terbitnya UU No. 18/2017 BNP2TKI berubah menjadi BP2MI (Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia).
Pada mulanya dengan Undang-undang tersebut, banyak hal yang tidak dapat di implementasikan secara tepat pada penempatan PMI di masing-masing negara tujuan. Salah satu kemungkinan pada saat perancangan UU dimaksud, pemikiran Wakil Rakyat hanya tertuju pada satu kawasan negara tujuan/penempatan saja. Kemudian tumpuk-menumpuk dengan peraturan yang dibuat oleh pemerintah (c.q Kemnaker) di negara tujuan/penempatan. Sebagai contoh, dengan diharuskannya membeli asuransi sebagai bentuk perlindungan PMI di satu kawasan yang saat itu ”mengharamkan” asuransi. Sementara di sisi lain, pembelian asuransi di negara tujuan/penempatan tertentu menjadi ”dobel” karena negara tersebut sudah mewajibkan para pengguna jasa (employment agency) untuk memberikan asuransi kepada PMI sebagai bentuk perlindungan sebelum mereka menginjakkan kakinya (tiba) di negara tujuan/penempatan.
Hal lain yang menjadi ”issue” penting dalam UU tersebut antara lain pengaturan perpanjangan kontrak di negara tujuan/penempatan PMI yang mewajibkan pembelian asuransi BPJS walaupun para PMI tidak akan menggunakannya karena mereka tidak berada di Indonesisa sepanjang masa kontrak di luar negeri masih berlaku. Memaksakan/mewajibkan setiap PMI untuk memiliki BPJS selama masa kontrak di luar negeri kadang mendapat perlawanan, bahkan aksi demo dari para PMI di depan kantor Perwakilan RI pada saat mereka akan memperpanjang kontrak kerja di beberapa negara tujuan/penempatan.
Hal lain yang perlu dikemukakan bahwa dalam proses pembuatan UU, kami yakin bahwa pemikiran wakil rakyat kita hanya tertuju kepada satu jenis pekerjaan yaitu sektor Pekerja Domestik, sebutan keren dari Asisten Rumah Tangga. Mengapa demikian? Kita ketahui bersama bahwa alur perekrutan PMI sesuai UU mengharuskan Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) untuk memiliki Job Order Agreeement terlebih dahulu. Kemudian mengajukan SIP (Surat Ijin Perekrutan). Hal ini sudah benar dan sah untuk sektor pekerja domestik. Namun tidak pas apabila diterapkan pada sektor non-pekerja domestik, seperti sektor perhotelan, industri, dan lain-lain.
Dalam hal non-pekerja domestik, pengguna jasa mengharuskan P3MI memiliki cukup kandidat pekerja (CPMI) yang memenuhi persyaratan dan akan dipilih sesuai jumlah permintaan. Artinya P3MI harus menyiapkan paling sedikit dua kali lipat dari jumlah yang dibutuhkan oleh calon pengguna jasa, sebelum mereka menentukan pilihannya. Dapat dikatakan bahwa hampir seratus persen P3MI harus melanggar isi dari UU yang ada, dimana setelah terpilih oleh pengguna jasa (employmen agency) barulah SIP itu diajukan oleh P3MI ke BP2MI, sesuai jumlah dan nama calon para kandidat pekerja (CPMI) yang terpilih oleh pengguna jasa.
Akhir-akhir ini terjadi pemutar-balikan fakta UU di lapangan yang menyebutkan apabila pengguna jasa sudah membayarkan biaya-biaya dari proses penempatan, maka P3MI tidak boleh membebankan biaya-biaya tambahan kepada PMI. Hal ini sangatlah benar, namun penyesatan istilah “zero cost” membuat semuanya seolah-olah benar-benar “zero” (tidak dipungut biaya) untuk PMI. Sementara faktanya tidaklah demikian, bahwa lebih dari 75% dokumen-dokumen jati-diri PMI mengalami kesalahan yang tidak dapat dipahami dan di tolerir oleh pemerintah di negara penempatan/tujuan. Terutama pada saat verifikasi kontrak kerja dan pengajuan visa kerja, sehingga Sebagian besar PMI harus mengeluarkan biaya untuk melakukan pembetulan atau koreksi secara resmi di instansi terkait. Misalnya, seorang PMI dengan nama “Muhammad Rizki” di KTP nya, namun menjadi “Muh. Rizky” atau “Moh. Riski” atau “Mohammed Rizky” di jati-diri yang lain, hal ini akan dianggap sebagai jati-diri palsu (bogus document) oleh pemerintah negara tujuan/penempatan. Pembetulan seperti itu akan makan waktu lama dan biaya yang tidak murah. Dengan penyesatan istilah “zero cost”, tuntutan PMI meminta pengguna jasa yang membayarkan biaya ini.
Di lain pihak, Pemerintah Daerah yang ada di Indonesia rata-rata tidak memiliki anggaran untuk membayarkan biaya pelatihan dan kompetensi bagi para CPMI sesuai aturan UU. Terdapat kesan agak “dipaksakan” bahwa pengguna jasa yang harus membayarkan biaya tersebut. Oleh karena itu, pada kurun waktu gonjang-ganjing ini terjadi, ada penurunan jumlah penempatan PMI di luar negeri yang significant karena terjadinya bersamaan dengan merebaknya pandemic Covid-19.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah kegagalan pejabat dalam pengawasan jumlah ijin P3MI yang dikeluarkan. Persaingan di lapangan sudah tidak sehat lagi, karena banyaknya P3MI yang “meminjamkan” ijin perusahaannya kepada insan lainnya dengan menerima “fee” pembayaran kepada pemilik ijin P3MI tersebut. Persaingan yang tidak sehat di antara P3MI pada akhirnya akan merugikan PMI dengan berbagai hal, salah satunya adalah “overcharging” dan penempatan yang tidak prosedural.
Pengawasan pemerintah terhadap pekerja migran yang akan ditempatkan, Indonesia masih kalah jauh dalam hal keberanian pejabatnya membuat peraturan dan keputusan. Dibandingkan dengan pemerintah Filipina melalui POEA (the Phillipines Overseas Employment Administration), sebuah badan pemerintah setingkat BP2MI di Indonesia yang mempunyai kekuatan penuh dan lebih besar dibandingkan dengan BP2MI dalam membuat keputusan untuk melindungi para pekerja migran mereka. POEA mengatur ijin akreditasi para employment agencies di negara-negara tujuan/penempatan dengan jumlah minimal penempatan baru dari badan tersebut, di patok sebesar 100 orang per tahun untuk dapat memperbarui akreditasi mereka. Di Indonesia hal ini terbalik karena mengijinkan satu employment agency di luar negeri dapat ber-mitra 5 hingga 10 P3MI di dadlam negeri, sehingga yang terjadi adalah “bargaining power” ada di tangan employment agencies negara tujuan. Bukan di tangan P3MI di Indonesia. Pada akhirnya harga penempatan yang harus dibayarkan kepada P3MI menjadi hancur, dan lagi-lagi PMI yang akan menjadi korban.
Beberapa waktu lalu, Kepala BP2MI Benny Rhamdani dalam suatu konferensi pers menyampaikan proposal kenaikan gaji PMI di negara penempatan Singapura, Taiwan, dan Hong-Kong, sehingga terdapat perbedaan antara PMI yang sudah memiliki pengalaman kerja di 3 negara tersebut dengan PMI yang hanya memiliki pengalaman kerja lokal di Indonesia. hal tersebut akan disambut baik oleh P3MI terlebih oleh PMI sendiri. Hal tersebut akan menaikkan devisa negara minimal 20%, juga akan menaikkan angka penempatan PMI dari Indonesia ke negara tujuan/penempatan.
Perlu diketahui bahwa hal tersebut semata-mata untuk mencegah employment agency melakukan penempatan lokal dengan hanya memproses ulang PMI yang akan habis kontrak kerjanya ataupun dengan hanya mengganti pengguna jasa yang sudah bekerja di negara penempatan. Sehingga akreditasi yang diberikan oleh perwakilan RI di luar negeri (KBRI/KJRI/KRI) bukan hanya dapat memetik keuntungan, akan tetapi dapat dengan mudah tidak mempedulikan nasib PMI yang masih menunggu proses penempatan di Indonesia. Apabila hal tersebut terjadi, maka secara etika salah, karena tujuan utama dalam ber-bisnis tenaga kerja, baik dari sisi P3MI maupun employment agency, tidak etis karena hanya mengutamakan profit tanpa mempedulikan tujuan lainnya, yaitu membantu pemerintah Indonesia dalam mengurangi pengangguran di dalam negeri.
Rencana yang diajukan oleh Kepala BP2MI tersebut akan lebih baik lagi apabila dijadikan peraturan tertulis dalam bentuk Permen oleh Menaker dan diharapkan akan segera di implementasikan oleh para pejabat di perwakilan Pemerintah Indonesia di negara tujuan/penempatan. Ide baik tersebut sesungguhnya bukanlah ide baru, karena sudah diterapkan oleh pemerintah Filipina selama puluhan tahun dan sudah berjalan dengan rapi dan baik. Apabila hal tersebut segera diterapkan oleh pemerintah kita, maka bukan “harga” yang menjadi basis “pertarungan” di lapangan oleh P3MI, melainkan “kualitas” yang akan menjadi faktor utama. Kualitas kompetensi PMI yang pada akhirnya akan dirasakan oleh semua pihak sebagai “win-win solution”. Dengan adanya keputusan tersebut, maka secara alami P3MI maupun employment agency akan tersingkir, terutama P3MI yang bekerja kurang baik dan tidak bertanggung jawab dalam melatih kompetensi para PMI.