Mengapa mereka tak beminat..? Saya amati, kendalanya hanya karena jalur angkot pete-pete tak melayari lokasi itu lewat Jl. Perumnas Raya termasuk syarat untuk menjual di pasar Pemkot itu.
Awalnya, mereka dinilai ikut membantu warga dan tepat waktu meninggalkan tempatnya. Namun setelah ‘larismanis’ para penjual lupa janji. Kadang warga kesulitan gunakan jalan raya. Akhirnya, sy mengajak Lurah dan Kanit Binmas Polsek mencari solusi.
Masalahnya, satu sisi harus juga dipikirkan terbukanya lapangan kerja. Apalagi saat itu, tindak kriminal sangat tinggi, khususnya pencurian dan kekerasan di Manggala.
Alhamdulillah setelah negosisi, mereka sepakat pindah ke lokasi kosong tak jauh dari tempat semula, setelah ‘deal’ syaratnya dengan pemilik tanah, salah seorang penduduk asli yang berbatas Tamangapa.
Karena ‘situasi ‘darurat’, mereka cuma jongkok menjajakan jualannya sambil menunggu rampungnya penataan Pasar ‘Jongkok’ ini.
Waktu merangkak terus, pasar serba ada dan terbilang murah itu berkembang pesat, lengkap buras, ketupat dan kulinernya. Juga pakaian. “Apapun yang anda cari di Pasar Terong, Kalimbu, Mariso, Pannampu maupun di Pasar Sentral, ada di sini juga pak,” komentar seorang pembeli.
Dampak negatifnya, kembali persoalan arus lalulintas mengganggu pengguna jalan. Positifnya, selain membuka lapangan kerja juga meningkatkan kesejahteraan warga sekitarnya yang ikut berjualan di pasar jongkok ini.
Sebagai rakyat yang punya Pemerintah, mereka kini hanya menunggu pembinaan pihak berwenang untuk kelangsungan hidup. Bukan di’rata’kan berdalih penertiban. Itu saja.
Eh, hampir lupa Nasi kuningku.. Sarapan dulu, sambil menulis cerita dibuang sayang ini. (***)