“Itulah bahayanya sekarang jejak digital membuat kita menjadi kehilangan kepercayaan titel kita sebagai akademisi. Sebagai seorang akademisi harus mempertahankan dan mengingat jangan sampai menjadi lupa terhadap apa yang pernah kita lakukan dan ucapkan serta perilaku-perilaku akademik yang pernah dilakukan. Kita harus konsisten. Kalau tidak konsisten, kita akan dilindas oleh zaman,” papar Faisal Abdullah saat menjelaskan isi bukunya.
Hak angket harus ada kepastian hukum. Harus ada ketentuan yang membatasi munculnya opini-opini yang berkembang dan tidak sesuai dengan apa yang dilakukan oleh DPR. Di dalam hukum kita mengenal adanya dua model eksekutif dalam arti sempit, yakni presiden dan bawahannya dan eksekutif dalam arti luas, yakni lembaga-lembaga nondepartemen/ kementerian yang mengelola dan melaksanakan tugas-tugas eksekutif.
Faisal mencontohkan, KPK, tidak bisa dimakzulkan, tetapi ketika dia dikenakan hak angket, orang mengatakan boleh dan banyak juga yang mengatakan tidak boleh karena dia bukan eksekutif. Bukan lembaga-lembaga negara yang disebut lembaga eksekutif yang disebut dalam undang-undang (UU), tetapi karena adanya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) 2017, maka memperluas istilah lembaga-lembaga nonkementerian yang boleh dimasukkan dalam hak angket karena dia pelaksana undang-undang.
Sejarah hukum, kata Faisal Abdullah, putusan-putusan MK itu, menjadi undang-undang dan harus diikuti semua perkembangannya oleh seluruh dosen Fakultas Hukum.
“Kita mengajarkan A, ternyata bukan itu karena ada putusan MK yang membatalkannya, yang selalu kedua-duanya dianggap remeh oleh para akademisi. Padahal, MK menjadi salah satu pilar dalam keberlakuan suatu undang-undang,” ujar mantan salah seorang Deputi di Kemenpora RI tersebut.
Oleh sebut itu, Keputusan MK yang menolak gugatan dari penggugat yang ingin menggagalkan hak angket waktu itu tidak diiyakan oleh kita dan MK menganggap bahwa boleh saja, maka dengan itu semua lembaga negara yang dibentuk oleh UU boleh menjadi objek hak angket. Tetapi bagaimana pun, Presiden sebagai penanggung jawab utama pelaksanaan pemerintahan, menjadi ujung hak angket itu. Hak angket ujungnya hanya dua, rekomendasi dan meminta pengadilan, juga meminta pelaksana hak angket meminta kepada peradilan untuk melakukan penyelidikan lanjutan terhadap satu tindakan pemerintah yang melampaui wewenangnya atau melakukan tindakan pidana yang putusannya dianggap oleh hak angket telah melakukan tindakan pidana yang disangkakan kepada Presiden atau kepada pihak yang terkait dengan pelaksanaan pemerintahan.
Faisal mengatakan, hak angket ini penting karena bisa terjadi kapan saja. Hak angket selain dilaksanakan karena adanya kejadian-kejadian luar biasa, misalnya saat ini banyak terjadi penghitungan suara oleh sirekap yang dianggap tidak benar. Ada juga rumor yang menyebutkan bahwa sebelum pencoblosan sudah diketahui pemenangnya.
“Ini mirip dengan Orde Baru dulu. Dulu ketika Soeharto berkuasa, pemenangnya sudah diketahui sebulan sebelum pemilu berlangsung sudah diketahui presidennya,” kata Faisal. (Bersambung).