“Tugas Polri dalam pembinaan hukum nasional (Pasal 14 angka 1 huruf e) hal ini bertentangan dengan kewenangan yang melekat pada Badan Pembinaan Hukum Nasional KemenkumHAM,” ucapnya.
Dr.Fachrizal Afandi menambahkan, dampak RUU Polri terhadap Sistem Peradilan Pidana diantaranya ; Pengangkatan penyidik PNS dan Khusus (Penyidik KPK, Jaksa) harus mendapatkan rekomendasi dari POLRI.
Penyidik PNS dan khusus (Penyidik KPK, Jaksa) harus mendapatkan surat pengantar dari penyidik Polri sebelum mengirimkan berkas ke Penuntut Umum. Potensi ketidak paduan proses penyelidikan, Penyidikan, Penuntutan dan Persidangan karena aturan di buat secara sektoral.
Upaya paksa dan penghentian penyelidikan/penyidikan tanpa check and balance serta kontrol pengadilan menjadikan masyarakat terdampak sulit mendapatkan keadilan.
Berdasarkan pada point-point permasalahan diatas Dr.Fachrizal Afandi merekomendasikan untuk menunda Revisi UU Polri yang dilakukan terburu buru ini, untuk itu perlu dilakukan pembahasan RUU Polri secara cermat Pasca pengesahan RKUHAP dan Cabut pengaturan terkait Hukum Acara Pidana dalam RUU Polri.
Iftitahsari,S.H.,M.Sc selaku Peneliti Institute For Criminal Justice Reform dalam FGD ini merekomendasikan agar Presiden dan DPR RI untuk menunda pembahasan RUU Polri. Perdalam substansi soal mekanisme pengawasan (oversight mechanism) dan Komisi III DPR RI untuk memulai proses pembahasan untuk perubahan KUHAP (program legislasi nasional prioritas DPR RI 2024) khususnya terkait semua materi hukum acara dalam RUU Polri, targetkan KUHAP baru harus disahkan sebelum 2 Januari 2026 (KUHP baru mulai berlaku, red).
Sedangkan, Ketua Umum Asperhupiki Dr.Fachrizal Afandi mengatakan, belum saatnya UU Polri direvisi.
“Ada apa diujung periode anggota DPR RI perlu dilakukan Revisi UU Polri ? ini akan memberikan dampak terhadap Sistem Peradilan Pidana,” pungkasnya.(Hdr)