Oleh : H Hasaruddin, Guru Besar UIN Alauddin Makassar
Pada awalnya, al-Sakaki merupakan salah seorang pandai besi andal yang hasil karyanya dikagumi dan diakui banyak orang. Suatu hari al-Sakaki membuat sebuah tempat tinta mungil dari besi, lalu diberi penutup yang cukup indah untuk dihadiahkan kepada sang Raja.
Sang Raja sangat mengagumi hadiah yang diserahkan oleh al-Sakaki, namun tidak memberi rasa simpati kepada al-Sakaki atas karya yang telah dibuatnya.
Pada saat bersamaan, seseorang masuk ke tempat al-Sakaki dan raja berada. Lelaki yang baru masuk tersebut disambut hangat oleh sang raja, bahkan Dia bangkit dari tempat duduknya menyambut lelaki yang baru saja masuk tadi.
Al-Sakaki bergumam dalam hati, kenapa raja menghargai lelaki yang baru saja datang, sementara dirinya agak diabaikan. Usut punya usut, ternyata lelaki yang disambut oleh sang raja adalah salah seorang cerdik pandai yang hidup pada masa itu.
Melihat realitas tersebut, al-Sakaki berbisik dalam hati, andai saja saya seorang ulama, maka saya akan dihargai dan dihormati oleh orang lain, termasuk sang raja.
Tidak lama berselang, al-Sakaki mohon diri, dan bertekad ingin mencari guru yang bisa mengajari ilmu pengetahuan, padahal usianya pada saat itu telah mencapai tiga puluh tahun.
Setelah lama berpetualang, al-Sakaki kemudian menemukan seseorang untuk mempelajari ilmu pengetahuan. Sayangnya, sang guru berkata kepada al-Sakaki, “Wahai al-Sakaki, saat ini sepertinya anda sudah berada pada usia yang tidak perlu lagi untuk belajar. Usia anda sudah tiga puluh tahun dan anda baru ingin belajar. Nampaknya, otak anda sudah tidak mendukung untuk memperoleh dan menerima pembelajaran.”