Oleh : H Hasaruddin, Guru Besar UIN Alauddin Makassar
Suatu hari Isa AS putera Maryam, ketika masih kecil, membuat burung-burung kecil dari tanah lempung. Beberapa anak yang tidak mampu melakukan apa yang dilakukan oleh Nabi Isa AS mengadukan hal tersebut ke orang tua mereka. Orang tua mereka berkata, “Di hari sabat, kerja semacam ini tidak boleh dilakukan.”
Mendengar hal tersebut, anak-anak kemudian memutuskan menuju ke kolam tempat Isa AS berada, guna menanyakan keberadaan burung yang baru saja dibuat oleh Isa AS.
Mendengar pertanyaan itu, Isa AS menunjuk burung-burung yang baru saja dibuatnya; burung- burung tersebut bisa terbang.
Salah seorang anak berkata, “Membuat burung-burung yang bisa beterbangan merupakan suatu hal yang mustahil, karena pekerjaan macam ini melanggar hari sabat.”
Anak yang lain berkata, “Aku akan mempelajari seni ini.”
“Ini bukan seni, ini adalah tipu muslihat,” kata anak yang ketiga.
Anak- anak menyimpulkan bahwa hari Sabat tidak boleh dilanggar dan seni itu tidak bisa diajarkan. Kalau ini sebuah tipu muslihat, justru anak-anak dan masyarakat sekitar sesungguhnya telah menipu diri mereka sendiri karena mereka tidak mengetahui benda apa yang digunakan untuk membuat burung-burung tersebut.
Alasan untuk tidak melakukan kerja di hari Sabat telah dilupakan. Masyarakat tidak bisa membedakan antara apa itu penipuan dan apa yang bukan. Mereka tidak mengetahui awal dan akhir dari pekerjaan tersebut, demikian pula ketika Isa AS diberitakan telah memanjangkan sebuah balok kayu.